Sering kita lihat lewat berbagai media massa soal kemajuan anak muda Jepang. Dalam musik, kita bisa dengar musik hip-hop Jepang alias “J-pop”. Dalam fashion, kita lihat model gaya pakaian Jepang yang terlihat “canggih” dan “keren”, juga mengenai rambut yang dicat warna-warni, yang kerap dikenal sebagai “model Harajuku”. Dalam bidang teknologi, tak perlu disebut lagi.
Semua gambaran yang kita terima soal anak muda Jepang itu, memberi kesan seakan dunia mereka tidak ada masalah. Mereka hidup tenang dan nyaman. Namun kenyataannya, benarkah demikian?
Kondisi Pasar Kerja
Masa-masa kejayaan ekonomi Jepang pasca Perang Dunia II yang dimulai sejak tahun 1960-an memang membawa banyak berkah dan perubahan gaya hidup bagi masyarakat awam. Kemajuan ekonomi yang dinikmati Jepang sampai tahun 1980-an ini membuka banyak lowongan pekerjaan. Ini kemudian ditandai dengan meluasnya sistem kerja permanen seumur hidup. Sistem kerja permanen ini menjadi model kerja Jepang. Sehingga generasi baby-boomers menikmati kondisi kerja yang tetap sampai menjelang pensiun di usia 65 tahun.
Namun sudah sejak awal 1990-an, Jepang dilanda stagnasi ekonomi terus menerus yang lumrah dianggap sebagai “krisis jaman kini” (Heisei Fukyou). Akibatnya, terjadi perubahan dunia kerja. Kondisi dunia kerja dipaksa untuk sesuai dengan tuntutan ekonomi. Dampak langsungnya, seperti dapat diduga tentu pertama kali dirasakan buruh kerah biru. Ini menyebabkan pengangguran dan juga tunawisma di kalangan buruh manual.
Secara struktural sekarang tidak ada lagi jaminan bahwa seorang buruh akan memperoleh kerja permanen seperti dulu. Selain itu, jumlah buruh tidak tetap terus meningkat. Di tahun 2005, menjadi lebih dari 33%, dan ini berarti, 1 dari 3 orang yang bekerja adalah berstatus buruh tidak tetap. Perlahan dan pasti, sistem kerja permanen tergerus dan menjadi barang langka dalam pasar kerja Jepang yang setiap tahun makin tak stabil. Kerja permanen ibarat peninggalan masa lalu yang sudah layak untuk masuk museum.
Susahnya cari kerja
Perubahan kondisi kerja ini tidak hanya dirasakan oleh buruh permanen yang kehilangan pekerjaan tetapnya. Tapi terutama oleh mereka yang baru akan mulai memasuki dunia kerja, yaitu anak muda. Setiap tahun selalu ada anak muda yang baru lulus sekolah dan masuk pasar kerja. Anak muda, dimana-pun juga tak hanya di Jepang, perlu mencari pekerjaan, dan kudu mendapatkannya untuk kehidupan pribadinya.
Ketika jumlah pekerjaan yang ditawarkan sedikit sementara jumlah anak muda yang mencari pekerjaan meningkat maka. dunia pasar kerja semakin ketat. Akibatnya, satu hal yang pasti, yaitu banyak anak muda yang tidak mempunyai pekerjaan. Alias, menganggur.
Jumlah anak muda Jepang yang menganggur terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun 1993 sekitar 5,1% dari total jumlah anak muda adalah menganggur. Di tahun 2003, jumlahnya menjadi 10,1%. Jadi dalam jangka waktu satu dekade saja, sudah bertambah dua kali lipat besarnya. Semua angka itu dalam catatan statistik resmi pemerintah. Bagaimana di kehidupan riil?
Anak muda yang menganggur ini kerap disebut “NEET” (Not in Education, Employment, or Training -.Tidak dalam Pendidikan, Pekerjaan ataupun Pelatihan). Memang istilah ini sendiri diambil dari bahasa Inggris, dan umum dipakai dalam percakapan sehari-hari. Dari survei resmi pemerintah, terungkap bahwa mereka yang tergolong “NEET” ini rata-rata berusia 19 sampai 23 tahun. Jelas, ini adalah usia orang muda lulus SMA ataupun bangku kuliah.
Kini bagi anak muda Jepang yang baru lulus sekolah, belum tentu akan mendapat pekerjaan, satu hal yang secara pasti diperoleh ayah mereka dulu. Inilah kondisi riil pasar kerja yang dihadapi anak muda Jepang masa kini.
Pemerintah Jepang bukannya tak sadar akan kondisi ini. Sejak tahun 2003, didirikan “Pusat Kerja untuk Anak Muda” dengan suasana kafe anak muda, di hampir semua kota besar. Tujuannya, untuk membantu anak muda mencari pekerjaan. Selain itu juga di hampir semua SMA, ada “bimbingan karir” bagi mereka yang tidak minat lanjut kuliah. Namun, semua program ini masih belum dirasakan efeknya. Sebab, persoalan utamanya tidak terpecahkan: susahnya bagi anak muda mendapatnya pekerjaan, apalagi yang permanen.
“Freeter”
Menyadari ketatnya pasar kerja, banyak anak muda kehilangan semangat. Ambisi untuk punya pekerjaan juga sudah memudar. Gambaran akan kejayaan ekonomi yang dialami ayah mereka dahulu, hanya tinggal menjadi mimpi saja. Sementara, lapangan kerja yang tersedia bagi anak muda umumnya bersifat tidak permanen, paruh waktu, dan non-karir.
Akibatnya, banyak anak muda yang bekerja model ini berpindah-pindah dari satu tempat kerja ke yang lainnya. Mereka disebut “Freeter” (juga dari bahasa Inggris, “free”). Ada berbagai macam jenis pekerjaan untuk “freeter”dan umumnya di bidang jasa karena pekerjaannya tidak terlalu berat, dan upahnya (tentu, harian) cukup untuk hidup satu hari.
Jadi, banyak anak muda Jepang lebih memilih menjadi “freeter”: bisa berpindah-pindah tempat kerja, pekerjaan tidak berat, punya banyak waktu luang, dan upah cukup untuk hidup satu hari. Menurut statistik resmi pemerintah, jumlah anak muda yang tergolong “freeter” di tahun 2003 sebanyak 2,09 juta orang. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari 10 tahun lalu.
Sementara sebagian anak muda yang masih punya harapan dan ambisi, umumnya melanjutkan sekolah ke jenjang S-2 atau S-3. Walaupun mereka sadar bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan untuk dapat pekerjaan tetap. Namun setidaknya sambil belajar, mereka bisa menambah ketrampilan untuk mendapatkan pekerjaan tetap. Mereka tidak mau disebut NEET dan tidak mau menjalani hidup seperti “freeter” yang tidak punya kepastian masa depan.
Muda dan Tua di Jepang
Sementara itu, beberapa industri masih memerlukan buruh (kasar) untuk melakukan pekerjaan manual di dalam pabrik. Anak muda Jepang enggan kerja di pabrik karena tahu pekerjaannya berat dengan jam kerja yang panjang. Jadi, pabrik di Jepang kekurangan tenaga kerja manual. Untuk mengatasi hal ini, Jepang banyak “mengimpor” tenaga kerja. Mereka disebut “Trainee”. Jadi, banyak buruh migran dari negara Asia (termasuk juga dari Indonesia) dan umumnya terikat kontrak selama 2 tahun.
Walaupun namanya “magang”, dalam kenyataannya mereka melakukan pekerjaan yang sama seperti buruh manual lainnya. Yang membedakan hanyalah upah yang mereka terima lebih kecil. Para “trainee” ini juga berusia muda, umumnya 18 sampai 20 tahun, yang baru lulus SMA ataupun STM. Dalam arti tertentu, merekalah yang menggantikan peran anak muda Jepang untuk melakukan pekerjaan manual di pabrik.
Kondisi ketatnya pasar kerja Jepang berjalan seiring dengan situasi kependudukan. Di Jepang, jumlah orang tua lebih banyak daripada jumlah anak muda. Situasi ini berbeda dari banyak negara di dunia. Mengapa ini menjadi masalah? Ada dua alasan.
Satu: anak muda belum dapat “kesempatan” untuk menggantikan orang tua yang terus bekerja. Akibatnya, anak muda tidak mendapatkan pengalaman dan ketrampilan minimum yang diperlukan untuk pekerjaan itu.
Kedua: dalam sistem jaminan sosial, anak muda menyokong orang tua. Namun, bagaimana bisa menyokong orang tua kalau belum punya pekerjaan? Juga, siapa yang akan membayar pajak untuk kelangsungan ekonomi? Ini menjadi pertanyaan besar buat Jepang, ketika banyak anak muda enggan untuk menikah dan mempunyai anak. Karena sadar bahwa biaya hidup semakin mahal sementara belum punya pekerjaan tetap.
Bagaimana anak muda Indonesia?
absen dulu ach
horee pertamaxxxxx lagi, hahahaa
karja berat hasilnya berat, kerja ringan hasilnya ringan. kalau anak muda jepang gak mau kerja keras namanya pemalas, suka memilih pekerjaan.