headlines

28 April 2009

Banyak Partai Politik, Banyak Penyakit?

Iwan Satyanegara Kamah - Jakarta

PERLUKAH pemilu dengan puluhan partai politik? Tidak, teman saya menjawab. Baginya, ia juga tak suka partai politik (parpol) hanya dua buah seperti selama 35 tahun jaman Presiden Soeharto, yang tak kuat menampung kemajemukan masyarakat, sehingga tumpah menjadi kekuatan yang menghempaskan akar kuat kekuasaan regim Soeharto.

Bagi saya, pendapat itu amat bijak. Namun apa laku dijaman kini? Ketika tiap individu ingin bikin parpol sendiri-sendiri, tempat dia membuat ruang ego ekspresinya, juga wadah mendulang uang untuk kantongnya.

“Pemilu di Indonesia adalah pemilu paling rumit di dunia”, komentar pengamat Uni Eropa pada Pemilu 2004. Rumit karena membebaskan parpol tumbuh bagai jamur kala hujan dan boleh ikut pemilu jika mampu melewati suatu syarat, yang mudah mereka penuhi, Rumitnya lagi, puluhan parpol punya ribuan kadernya yang minta dipilih rakyat (yang kebanyakan tak mengenal mereka dan memusingkan rakyat cara memilihnya), untuk duduk di kursi empuk parlemen nan bertabur fasilitas super mewah dengan guyuran uang hasil gaji, bonus dan uang lelah amat besar, serta ironinya timpang jauh dengan penghasilan rakyat yang mereka wakili. Plus mencuri uang atau main mata untuk mendapatkannya, kalau tak tercium hukum.

Andai tiap anggota parlemen menghirup oksigen 60 kali setiap menit, artinya sekitar 155 juta kali mereka hirup udara sebulan. Jumlah itu, jauh dibawah penghasilan bersih mereka sebulan dalam rupiah, setelah dipenggal berbagai potongan wajib. Hitungan kasar saya, sekali tarik nafas saja, anggota parlemen terhormat, mendapat uang sekitar lebih sejuta rupiah! Kalau semudah ini menjala rupiah, ide mengurangi jumlah parpol yang ikut pemilu, menjadi teriakan di tengah gurun.

PENYAKIT LIBERAL

Ada masa parpol berjaya dan dibiarkan bagai sejuta bunga bersemi antara 1945 hingga 1959. Kurun itu dicap era Demokrasi Liberal. Rakyat Indonesia yang masih tertatih dengan derita buta aksara latin yang kronis, bergaya hidup berpolitik bagai negara barat yang sudah mapan melesat maju. “Demokrasi Liberal bertentangan dengan UUD 1945”, tulis banyak ahli. Tapi mengapa rakyat bisu dan diam tak menghiraukannya? Ada tujuan yang lebih mulia dari cuma berteriak menentang demokrasi itu dengan ratusan parpol. Lebih kepepet mengurusi revolusi, agar Indonesia tetap berdiri, berjalan, berlari, bila perlu terbang, seperti diimpikan Soekarno.

Apakah penyakit yang terdeteksi selama era liberal itu? Adanya 40 parpol dan lebih dari 130 organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, kumpulan pemilih serta calon perorangan, yang ikut pemilu paling demokratis, paling cantik dan paling liberal di dunia yang dilakukan 43 juta pemilih Indonesia tahun 1955

Ada parpol yang namanya Acoma (Angkatan Comunis Muda) atau Grinda (mirip Gerindra). Bahkan terdapat calon perorangan yang meraih satu kursi. Namanya Raden Soedjono Prawirosoedarso, seorang tokoh kejawen dan kebatinan dari Madiun, Jawa Timur. Gempitanya Pemilu 1955, tak semata hasilnya yang mencerminkan betapa majemuknya sebuah bangsa belia nan jauh di ufuk timur sana, yang terbiasa menghempaskan demokrasi ke dalam keranjang sampah.

Simak saja pemenang Pemilu 1955. Ada golongan nasional, agama dan komunis sebagai pemenang papan atas, ditambah pemenang papan tengah, yaitu parpol berkutub pada islam, protestan, katolik dan sosialis. Sebuah hasil yang melambungkan Indonesia sebagai negeri “two thumbs up” dalam berdemokrasi di muka bumi saat itu.

Yang membuat rakyat jadi pesakitan, karena adanya puluhan parpol yang ada, lebih memilih perang argumentasi ideologi tanpa jedah, dengan perdana menteri gonta ganti, daripada bekerja serius dalam kerangka waktu yang sudah dirancang. Agar tak berlarut, Soekarno menghentakkan sebuah ide kejutan, di saat orang sedang menikmati liburan di hari Minggu. “Kembali ke UUD 1945!”, teriaknya dalam sebuah dektriT pada 5 Juli 1959 di tangga Istana Merdeka. Artinya, tak ada lagi partai-partaian yang berbiak tanpa guna. Lho, gimana dengan parlemen hasil Pemilu 1955 dengan puluhan parpol pemenang? “Bubar!”, pekik Soekarno.

PENYAKIT ‘KOLESTEROL’

Soekarno dan Soeharto tak menyukai banyak parpol yang bersemi bagai bunga merekah. Setelah 5 Juli 1959 hingga kejatuhannya, parpol yang tak searah dengan Soekarno, banyak disindir, dikritik, dikecam dan dibenamkan dalam sejarah dengan pembubaran. Bonusnya, banyak pentolan beberapa parpol penentangnya, diinapkan di rumah tahanan militer atau di lempar dalam jeruji sel besi penjara, dengan variasi tuduhan politis yang kadang dibuat-buat.

Sedangkan bagi Soeharto, adanya puluhan parpol yang tumbuh bersemi untuk ikut pemilu, tak tega ia pangkas. Lebih baik dibiakkan saja dalam pot, sehingga mudah dirawat. Kalau perlu dibonsai, agar lebih terlihat demokratis. Untuk usaha ini, Soeharto sangat sukses melakukannya. Hasilnya Pemilu 1971 akhirnya cuma 9 parpol diijinkan berlaga, plus sebuah kelompok kekaryaan, yang dikenal sebagai Golongan Karya (Golkar) yang tak sudi dipanggil sebagai sebuah partai.

Akhirnya, Soeharto kebelet juga ingin merampingkan 9 parpol. Terang-terangan ia melampiaskan niat itu pada 28 Oktober 1971. “Pemilu 1976 (dilaksanakan 1977) sebaiknya dimunculkan 3 tanda gambar saja, kelompok demokrasi, persatuan pembangunan dan golongan karya”, usulnya waktu berpidato di depan anggota parlemen yang baru dilantik hasil Pemilu 1971.

Sejak awal 1973, 5 parpol beraliran nasionalis dan kristen digabungkannya menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bergambar kepala banteng, dan 4 parpol aliran islam disatukan dengan nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bergambar Kabah, kiblat umat Islam. Sejak Pemilu 1977 dan 1982, hanya ada 2 parpol dan Golkar.

Masih tak puas dengan trauma ulah parpol masa lalu, Soeharto tak tega memeras 2 parpol yang sudah ada menjadi satu. Ia punya ide cemerlang, yakni menyamakan gen parpol (juga Golkar) pada pidato 17 Agustus 1983. “Semua kekuatan politik harus berazaskan Pancasila”. Akibatnya, PPP tak boleh bergambar motif keagamaan. Kabah diganti menjadi gambar bintang untuk partai itu. Jadilah Pemilu 1987, 1992 dan 1997 tampil hasil yang monoton, menyumbat dan semu yang tak kuat menampung kemajemukan masyarakat nan merebak cepat. “Kita menderita kolesterol politik”, kata John Naro, bos PPP saat itu.

Pada 27 Juli 1996, setelah berhari-hari berorasi di halaman kantornya, PDI yang dikomando Megawati Soekarnoputri, berani menyediakan tempat bagi siapapun yang tak senang dengan kebijakan Soeharto yang mengekang. Keberanian Megawati itu dijawab dengan kekerasan oleh Soeharto, dengan tumpahnya darah yang menghilangkan puluhan nyawa. Namun darah yang mengering tak bisa diam. Ia menjelma akhirnya memicu kejatuhan Soeharto pada 1998.

PENYAKIT PUSING

Presiden BJ Habibie, pengganti Soeharto, akhirnya mengadakan Pemilu 1999 dengan sistem yang sama seperti dilakukan pendahulunya. Bedanya, pada Pemilu 1999 berlaga puluhan parpol dari ratusan jumlah yang lahir setelah berakhir era Soeharto. Sejak itu Indonesia mendapat predikat baru membanggakan: NEGARA DEMOKRASI TERBESAR KETIGA DI DUNIA, setelah India dan Amerika Serikat. Sebuah julukan yang akan terus melekat selama ratusan tahun, kecuali Indonesia berubah jadi negara otoriter, atau sanggup memompa jumlah penduduknya melebihi AS dan India, yang justru kedua negara ini makin membangkak jumlah warganya. “Bingung milihnya”, begitu banyak kesan yang timbul dari masyarakat, yang terbiasa dengan 2 parpol dan Golkar selama lebih 35 tahun. “Pusing!”, kata seorang tukang becak.

Bukan cuma pusing banyak parpol bersemi, tapi menyebar wabah orang mencibir. Lihatlah ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menggelar Pemilu 2004 yang sukses dan dinilai rumit. Puluhan parpol punya ribuan kader yang minta dipilih rakyat untuk jadi anggota parlemen berbagai tingkatan (nasional, propinsi, kabupaten), ditambah memilih sebuah anggota dewan yang mirip senat, yaitu dewan perwakilan daerah (DPD) untuk berbagai tingkatan, sekali masuk bilik suara. Selang beberapa bulan, pemilih harus datang sekali lagi (bisa dua kali) ke tempat yang sama, untuk memilih presiden dan wakilnya dalam satu kemasan produk parpol.

Pemilih Pemilu 2004 menjadi pusing ketika masuk bilik suara. Ada beberapa lembaran suara berukuran jendela rumah. Isinya bagai bagan matriks matematika yang memusingkan, karena terpampang tanda gambar parpol yang kadang mirip, serta foto calon parlemen yang mereka tak begitu kenal (Pemilu 2009 tanpa foto calon legislatif). Hasilnya menakjubkan dan menuai pujian dunia. Presiden (dan wakilnya) terbaru terpilih langsung dengan sangat demokratis, tidak seperti sistem ‘electoral vote’ di Amerika Serikat, yang terkadang kurang langsung.

Untuk pertama kalinya, sejak sejarah 2000 tahun lebih di nusantara, penduduk yang mendiami kepulauan terbesar di muka ini, memilih pemimpinnya secara langsung. Bukan berdasarkan hereditas (keturunan), kudeta atau sandiwara di parlemen yang terjadi selama sejarah negeri ini. Yang memusingkan rakyat, akhirnya menjadi memuakkan, adalah ulah banyak parpol dengan anggotanya yang terpilih duduk di parlemen yang demokratis. Mereka tumbuh menjadi diktator parlementer dengan kekuatan penuh. Dulu diatur-atur badan eksekutif, kini mereka mencoba mengendali jalannya kerja eksekutif, juga yudikatif.

Lihat saja, mereka suka-suka bikin peraturan untuk rakyat yang mereka mau dan butuhkan.

Jalan-jalan ke luar negeri dengan rombongan besar hanya untuk sosialisasi program bagi segelintir warga Indonesia di luar negeri. Mereka memanjakan diri dengan fasilitas kerja yang super mewah. Mereka ingin bikin tambahan gedung parlemen baru berbiaya ratusan miliar, dari pajak rakyat, tanpa diimbang hasil kerja yang mewah untuk pemilihnya yang mereka mudah lupakan. Arena parkir gedung parlemen di Senayan, kini lebih mirip show room mobil mewah. Komisi Pemberantasan Koprupsi (KPK) lebih senang melirik ke gedung parlemen, karena banyak yang bisa ditangkap dari anggota parlemen yang kini gemar korupsi.

PENYAKIT BOROS DAN GILA

Banyak parpol mencerminkan demokrasi. Juga menandakan banyak uang negara yang harus dirogoh. “Demokrasi itu mahal”, kata Wakil Presiden Jusuf Kalla. Harga mahal itu sering tak diimbangi hasil yang memuaskan dari pemilu dengan banyak parpol. Setiap pemilu lima tahun, ratusan triliun uang pajak rakyat dimakan untuk memberi bahan bakar bagi pesta demokrasi itu. Bahkan hampir setiap hari, ada saja pemilihan kepala daerah (pilkada) di seantero negeri untuk memilih gubernur dan bupati. Sebuah pilihan sulit untuk membiarkan negeri ini memiliki sedikit parpol dan ratusan parpol.

Puluhan parpol yang ada menghendaki ribuan anggotanya giat berkampanye, agar terpilih menjadi anggota parlemen, dengan uang sendiri yang bisa mencapai ratusan juta hingga puluhan miliar. Rugi dong? Mereka bisa mendapatkan kembali uang itu, bahkan lebih jumlahnya selama menjadi anggota parlemen. Dari mana? Dari penghasilan yang menggiurkan sebagai anggota parlemen, plus bermain ‘kasak kusuk’ bila tak tertangkap KPK. Bagaimana kalau tidak terpilih? Jadi orang gila.

SUMBER PENYAKIT

Bagi Soekarno, lahirnya puluhan bahkan ratusan parpol dalam pemilu, tidak membuat rakyat menjadi sejahtera. Ia menuduh dan mencela maraknya itu, sambil mengambil sebuah perumpamaan bangsa Belanda, untuk mengejek sistem kenegaraan terlalu banyak parpol. “door naar de zee te strongmen is de rivier trouw aan haar bron”. Dalam menuju ke laut, sungai setia kepada sumbernya.

Maksudnya apa? Ratusan mungkin ribuan sungai taat dengan sumbernya dan menuju ke laut. Sebagian besar sungai-sungai kecil itu bermuara di sungai atau begawan besar, yang mengalir ke laut dengan kekuatan arus maha dahsyat, nyaris tak terbendung. Bagaimana bila sungai-sungai kecil itu tak mau bergabung dengan sungai besar, sungai kecil itu tersendat mandek. Ia menjadi rawa sarang nyamuk dan penyakit, atau menjadi comberan berbau busuk, bahkan mati tanpa jejak. “Kurangi jumlah partai”, teriak Soekarno pada pidato 17 Agustus 1955.

Bukan hanya Soekarno sendiri yang sudah mencium bau busuk dengan terlalu banyaknya parpol.

Komentar :

ada 8 komentar ke “Banyak Partai Politik, Banyak Penyakit?”
Natya mengatakan...
pada hari 

wah, dapet pertamaxx dong ....

Anonim mengatakan...
pada hari 

ikuttt....
ininn

Iwan Satyanegara Kamah mengatakan...
pada hari 

Wah...artikel ini artikel terakhirku di KoKi lama, sekaligus jadi artikel pertama di KoKi baru... Danke schon.

Sirpa mengatakan...
pada hari 

Hadir, Nice article Bung Iwan ...

Iwan Satyanegara Kamah mengatakan...
pada hari 

Hai Bung Apris... pa kabar California. Salam buat Mayor Jerry Brown, my untouchable friend.

Sirpa mengatakan...
pada hari 

Aku ada baik2 dan sehat .
Nanti pasti kusampaikan salammu ke beliau ... pasti beliau akan terkejut.
Salam hangat juga utk keluarga Bung Iwan.

ryan saja mengatakan...
pada hari 

Bangsa yang lupa ingatan.

femin mengatakan...
pada hari 

hebat sekali artikel ini

Posting Komentar

 

Bilik Gemuruh (Chatroom)

Pelajaran SMP

Kokiers

HEADLINE NEWS
pengunjung sejak 29 April 09

Greeting