headlines

28 April 2009

Pengakuan Seorang Pecandu KoKi

Imung Hikmah - Pecandu Dini

Pecandu apa?

Saya bukan seorang perokok, dan tidak pernah merokok seumur umur. Saya bukan seorang peminum, meskipun pernah kepeleset minum anggur dalam beberapa jamuan di masa lalu. Saya bukan pencinta dadah dan sejenisnya. Saya tidak pernah tergantung pada obat-obatan. Bahkan obat puyeng yang banyak diiklan tv pun saya tak sanggup meminumnya karena alergi. Jadi terus terang, bukan inilah sebab saya menjadi seorang pecandu.

Jika benar saya sekarang menjadi pecandu, pastilah masih dalam tahap dini. Banyak orang yang saya lihat sudah menjadi pecandu sejati, dan jauh lebih gelo dan militan dari sikap kecanduan saya, yang masih dalam tingkat kewajaran. Saya kecanduan community dot kompas dot com. Saya seorang Kokiholic.

Tanda Tanda Kecanduan Saya

Tanda pertama yang bisa saya kenali adalah perubahan kebiasaan saya sepulang dari kantor. Biasanya saya masih saja mengerjakan pekerjaan kantor, meskipun sudah di rumah. Dan di waktu week-end, saya biasanya asyik dengan buku, ke bioskop, atau nonton film series dari DVD bajakan. Semuanya berubah semenjak saya kepincut Koki. Dirumah? Buat apa kerjaan kantor, mending ngoki. Nonton DVD? Ih tidak seseru berselancar di Koki, atau nulis untuk Koki.

Saya juga tidak pernah tergoda mencandu blog, soalnya sepi sih. Dan walaupun kawan saya banyak (pamer ah..), jarang jarang saya mengapdet facebook saya. Sebaliknya dengan Koki, frekuensi kunjungan saya mulai meningkat melebihi dosis minum obat per harinya. Kecanduan saya ini masih dalam tahap dini, bayangkan tuh banyaknya para pecandu akut koki macam JC, Iwan, PDD, Reef, Caridaki, Nuchan, Linda, Lyna, Reef, Wes, dan banyak lagi (Kalau saya list semua disini, pasti panjaaang daftarnya) yang komentarnya bertebaran di kolom mana saja, di profile siapa saja.

Sebelum ini, saya tak pernah terlalu perduli dengan barang barang elektronik komunikasi. Laptop dan desktop cuma syarat untuk bekerja. Bahkan saat saya memerlukan untuk pekerjaan sampingan menterjemah film, mengunduh film dan softwarenya dengan telkomnet yang rada lelet, saya masih cuek. Tak punya handphone pribadi, saya masih cuek. Tapi semenjak koki mewarnai hari hari, saya sudah mulai melirik lirik dan bermimpi memiliki iphone supaya lebih gampang akses koki. Saya sudah mulai frustasi dengan 3G yang kecepatannya bikin darah naik ke kepala. Saya sering kesal bukan kepalang karena usaha bikin komen hampir tak pernah berhasil, gagal simpan terus, kecuali jika pakai wifi di cafĂ©, atau di kantor. Tak tau kenapa –maklum rada gaptek - laptop dan koneksi saya di rumah sepertinya anti banget sama komentar. Maksud hati mengomentari apa daya sistim di Kokinya menolak…(ternyata bukan cinta saja saya sering ditolak, komen Koki pun ditolak, terlalu!)

Bukan Cinta Pandangan Pertama

Kesan Pertama melihat koki, begitu menggoda. Tampilan sangat apik, lay-outnya ringkas dan gampang dinavigasi. Tapi sekilas karena banyak tulisan, kolom dan komentar bertabur kata kata koki, saya masih terbingung bingung. Pikiran saya yang masih lemot saat itu masih belum tau Koki ini apa? Koki ini untuk siapa? Sehingga saya menduga: Koki, tempat curhat orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Saya tinggal di negeri coret, jadi gak masuk hitungan dong! Koki? Jangan-jangan ini cuma untuk orang Indonesia yang berprofesi koki dan tinggal di luar negeri? Atau tempat berkumpul maya para koki Indonesia dimana saja berada, di seluruh dunia. Saya bukan semua itu. Untuk beberapa waktu, setelah klik pertama saya ke koki, saya tak pernah kembali lagi…

Kesempatan berikutnya mengunjungi koki terjadi secara tak sengaja. Saya sedang capek dengan berita berita koran yang tak ada habisnya bicara tentang korupsi, tragedi dan para petinggi. Juga TV lokal yang penuh dengan iklan dan sinetron tak bermutu. Sementara mengunjungi blog juga kurang seru. Jadilah saya menemukan kembali sang Koki, ‘koran’ online yang pakemnya paling nyeleneh. Singkat kata cinta saya pada koki, bukan jatuh cinta pada pandangan pertama. Koki buat saya seperti zat adiktif yang belum terasa enaknya dengan cuma sekali coba. It’s an acquiring taste. Perlu terbiasa untuk membuatnya terasa.

Kenapa KoKi?

Kenapa saya mencandu Koki? Ibarat swalayan, Koki lengkap banget mau yang model serius ada, yang doyan jorok juga ayok. Bahasa dan cerita apa aja ada, dari yang serius dan intelek, yang curhat jujur hancur di Koki trash, sampe yang bikin ngiler di Koki Food.

Bahasanya asyik, ringan dan sederhana. Ceritanya beragam. Bisa international, tapi juga personal. Inspiratif, tidak biasa dan membuka wawasan. Dalam, dangkal, tidak menghakimi. (tidak selamanya kita ingin membaca yang dalam dalam terus kan?). Bumbunya wuah mantap. Bumbu ini adalah komentar komentar tertulis dari para pembaca. Ibarat sayur berbumbu rupa rupa, komentarnya ada yang pedes seperti sambel, ada yang manis dan gurih, ada juga ibarat nasi goreng ditambah bumbu rendang, maksudnya komentar OOT – out of topic. (saya sebelumnya juga tidak melek istilah istilah kayak gini.) Tapi biar bagaimanapun, ajaibnya semua bisa bersatu menjadi smogasboard gourmet meal jurnalisme awam yang super lezat, bisa dinikmati oleh siapa saja, dalam kesempatan apapun. Belum tentu makanan dari restoran bintang lima selalu lebih lezat dari kaki lima, kan?

Kenapa saya mencandu Koki? Saya takjub pada komentar dan para komentatornya. Komentator American Idol? Wah tak ada apa apanya dibandingkan dengan Koki punya. Para komentator Koki banyak yang ajaib dan mengesankan! Super sportif dan suportif terhadap tulisan dan situasi dalam tulisan tersebut , kadang sinting juga, tapi sangat sedikit yang suka bikin runyam. Banyak para pecandu yang datang ke artikel yang sama hanya karena komentarnya! Kesintingan komentar para Kokiers buat saya terbukti lewat komentar di artikel saya ‘Ih Jorok Ah’. Yang belum baca, ini link nya: http://community.kompas.com/read/artikel/2612 (tapi yang tak tahan godaan, atau yang tak suka hal hal jorok, sebaiknya sih jangan baca. Nanti kesal sendiri. Untuk saya, sumpah! Komentar para Kokiers disana jauh lebih seru daripada tulisannya. Baru sekali itu seumur umur saya tertawa ngakak dan ngikik sampai sakit perut membaca komentar.

Yang saya takjub juga adalah dengan Zeverina, moderatornya Koki. Saya sering bertanya tanya, bagaimana dia mengatur jadwal baca artikel artikel yang masuk ke emailnya, singlehandedly? Bagaimana Zev memilih, memilah dan mengimbangi artikel untuk masing masing kolom di Koki? Belum lagi memilih dan memilah foto foto yang cocok untuk tiap artikelnya. Ditambah kerewelan para Kokiers yang meminta ini itu, sehingga beberapa kali Zev mesti turun gunung dari pertapaannya. Mengingat menjadi moderator KoKi bukanlah pekerjaan utamanya, bisa dibilang ini merupakan dedikasi yang luar biasa.

Para KoKiers Di Mata Saya.

‘Persaudaraan’ maya para Kokiers sungguh aneh. Banyak dari mereka yang mungkin belum pernah saling bertemu muka, tapi rajin berkunjung ke link tulisan yang kadang ramai disebut lapak. Dan rajin juga berkunjung, menyapa dan mengobrol di kamar profile pribadi. Waktu bukan halangan. Saya sering melihat banyak pecandu Koki yang sepertinya selalu tune-in disini, istilahnya ngeronda. Salah satunya jeng Dewi Meong, yang sempat saya tanya: Kapan mandinya, kapan makannya, kapan tidurnya, kapan mainnya, kalau selalu di Koki? Kapan?

Saking militannya para pecandu akut ini, mereka berlomba lomba untuk menjadi yang pertama di lapak komentar, dan kalaupun tak sempat membacanya, mereka akan tinggalkan pesan disana, akan membaca artikelnya segera. Dan saking mencandunya, para Kokiers tak segan segan menuntut Zeverina sang Moderator untuk memasang artikel baru, meskipun baru saja kemaren artikel baru dipasang.

Barangkali tepat meminjam moto salah satu produk roll on (bukan bermaksud iklan) untuk para Kokiers ini: Setia setiap saat. Dan kesetiaan mereka terhadap para teman maya yang menjadi pengunjung tetap Koki, sangat luar biasa. Contohnya tulisan RYC No Mama tentang budaya Jepang dimatanya, baca disini: http://community.kompas.com/read/artikel/2647 yang dihujat oleh seorang ‘fankompas’, dibela oleh para Kokiers – istilah yang dipakai untuk para pembaca dan pecandu Koki. Sebegitu dahsyatnya kesetiaan dunia maya di Koki, saya penasaran juga sih, apakah ada jalinan persahabatan, percintaan atau perkawinan yang terjadi atau terluka lantaran Koki. Siapa tahu ada yang mau berbagi cerita?

Sebagai pecandu pemula, saya tak ingin lancang dan memang tak punya ilmu serta pengalaman untuk menjelaskan sejarah Koki atau kaleidoskop Koki. Yang ini sih jatahnya para veteran Kokiers untuk bikin tulisan. Kayaknya sudah ada banyak yang ditulis, dan yang pernah saya baca ditulis oleh Piper dan JC. Tulisan Piper: Koki in My Memory 2005-2008. Tulisan JC, banyak. Maaf saya tidak kutip linknya, mampir saja deh di kolomnya beliau, ditanggung puas.

Buka Buku

Mungkin bagi para pecandu Koki akut, perilaku saya di Koki belum bisa dikategorikan sebagai pecandu. Saya belum mengisi profil. Belum tau bagaimana bikin avatar, apalagi sampai bisa menyisipkan lagu dan video. Komentar nya masih satu dua. Belum tahu Koki luar dalam. Banyak istilah di Koki yang masih asing. Singkatan Koki pun masih menebak nebak, komunitas kita, kompas kita, kolom kita …Tapi untuk saya, Koki sudah mengubah perilaku biasa saya menjadi tidak biasa, jadi saya pikir, saya sudah menjadi pecandu, meskipun masih dini. Dan dengan senang hati, saya mulai buka buku episode kecanduan saya sembari menanti saat menjadi pecandu akut KoKi.....

Komentar :

ada 4 komentar ke “Pengakuan Seorang Pecandu KoKi”
Natya mengatakan...
pada hari 

horeee .....

Jejen mengatakan...
pada hari 

Nomerrr 2 ngabsennnn

Anonim mengatakan...
pada hari 

akhirnya bs jg nulis komen...viva koki...

Unknown mengatakan...
pada hari 

aku pecandu koki nih, wuakakak

meong

Posting Komentar

 

Bilik Gemuruh (Chatroom)

Pelajaran SMP

Kokiers

HEADLINE NEWS
pengunjung sejak 29 April 09

Greeting