headlines

07 Juli 2009

Ternyata Aku Mencabut Nyawaku Sendiri

TERNYATA AKU MENCABUT NYAWAKU SENDIRI….

Jum’at, 30 Maret 2009 di rumahku,

Jum’at jam 11.00 malam telepon di rumah berdering, telepon jam segini berdering pasti sesuatu yang darurat. Bener saja, suami Neno-sepupuku meninggal terserang stroke… belum juga berusia 40 tahun. Padahal di saat yang sama isterinya sedang terbaring di RS Dharmais; kanker stadium 5 sudah menyebar di seluruh tubuhnya. Kami sekeluarga langsung meluncur ke rumah duka, jenazah terbujur kaku, ada pihak keluarga mertua almarhum. Pasangan yang malang ini memiliki sepasang putra kembar kelas 5 SD. Jam 12 malam datang oom Pur dengan wajah kusut dan lelah, dia baru saja dari Dharmais memberitahu putrinya - Neno bahwa suami Neno telah dipanggil sang Khalik. Sepupuku memaksa menengok jenazah suaminya sebelum dikuburkan, untuk itu oom Pur sekalian minta izin dari dokter yang sebenarnya sangat keberatan. Karena sepupuku kondisinya hanya mampu terbaring tak berdaya di rumah sakit dengan ditunjang aneka alat bantu medis.

Keesokan paginya kami kembali ke rumah duka,, jenazah sedang dimandikan dan kedua putra kembarnya tampak menangis terisak-isak. Ucapan salah seorang dari mereka makin menambah suasana duka…”Eyang, kenapa cobaan hidupku amat berat. Aku kan baru sepuluh tahun.” Neneknya yang ayu dan lembut bak Widyawati hanya sanggup mengelus-elus si kembar. Tak lama kemudian sebuah ambulance datang, Neno dibawa dalam keadaan terbaring di tandu beroda, beberapa perawat membawakan infuse yang selangnya terhubung dengan tubuh Neno. Tandu ditempatkan di sebelah tempat penyemayaman jenazah, tatapan Neno lekat-lekat ke jenazah suaminya –tiada kata-kata terucap hanya sebaris air mata mengalir di pipi cekungnya. Tangis anak-anaknya makin pecah membuat suasana makin mengharukan. Hanya tiga menit Neno harus kembali ke rumah sakit, oom Pur semakin limbung. Aku memeluk beliau seraya membisikan kata “ Oom yang kuat ya, Neno dan putra-putranya masih sangat membutuhkan oom”, beliau yang biasanya selalu tampak kuat akhirnya terisak-isak. Saat jenazah akan dibawa ke tempat penyemayaman terakhir, kedua anak kembar itu akhirnya diputuskan untuk tidak ikut karena kami khawatir melihat mereka tersengal-sengal akibat tangisan yang tak henti-henti.

Jadi ingat selarik syair:

Langit begitu gelap, hujan tak kunjung reda,

Kuharus menyaksikan cintaku terenggut tak terselamatkan,

Ingin ku ulangi hari, ingin kuperbaiki,

…Kau kubutuhkan, Beraninya kau pergi dan tak kembali

( Tanpa Kasihku..Agnes Monica)

Beberapa bulan kemudian di berbagai sudut lain Indonesia,

Beberapa pesawat Hercules milik TNI AU berjatuhan silih berganti; puluhan nyawa hilang serasa sia-sia. Keluarga yang ditinggalkan tergugu menangis, sungguh sedih melihatnya. Banyak yang meninggalkan isteri dan anak-anak yang masih bayi dan balita…oh, sanggupkah kubertahan menjalani hidup tanpa yang terkasih.

“Dimana letak surga itu,

Biar kuganti tempatmu denganku,

Adakah tanda surga itu,

Biar kutemukan untuk bersamamu… ( Agnes Monica lagi )

 

Aku jadi berpikir tentang mati; betulkah mati itu takdir

Dalam kasus Neno dan suaminya; perilaku dan gaya hidup yang sarat dengan acara “berwisata kuliner” tanpa henti telah menjadikan tubuh mereka overweight. Setahuku mereka juga bukan penggemar olahraga; dalam acara keluarga sebenarnya kami saudara-saudaranya sudah sering mengingatkan mereka untuk menurunkan bobotnya, tapi selama ini memang cuman ditanggapi dengan bercanda. Bener juga peringatan seorang sesepuh kami bahwa tubuh Neno dan suami telah menjadi pabrik gula…- penyebab diabetes; the silent killer. Penyakit itu perlahan tapi pasti merusak organ-organ tubuh. Bagaimana jika Neno dan suami menjalankan perilaku gaya hidup sehat…. Apakah sang sakratul maut akan menjemputnya secepat itu? Betul juga tulisan sebuah artikel kesehatan yang kubaca: “Jadikan tubuh mu sebuah kuil. Kuil adalah tempat ibadah; hanya memasukkan dan mempersembahkan yang baik-baik. Niscaya tubuhmu juga akan baik (a.k.a sehat)”.

Dalam kasus pesawat-pesawat berjatuhan; konon usia pesawat sudah terlalu tua tapi masih dioperasikan karena tidak ada anggaran untuk membeli yang baru…duh menyedihkan sekali ternyata perjalanan di udara itu adalah perjalanan bertaruh nyawa. Andai yang dinaiki itu pesawat baru dan layak terbang…

Sabtu, 31 Mei 2009 dirumah almarhum Tante Joko.

Hari itu kembali rumahku ditelpon keluarga Purwadi; Neno akhirnya menyusul suaminya menghadap sang Khalik. Aku dan adik-adikku berbagi tugas; mereka melayat kesana sementara aku ke rumah sahabat ibuku - tante Joko menghadiri peringatan 1000 hari meninggalnya almarhumah. Somehow aku bersemangat banget mendatangi acara ini; ingin bertemu teman-teman mamaku…sebab kami - anak-anak mereka selalu dikondisikan untuk terlibat bergaul dengan para mama ini, jadi secara pribadi aku cukup akrab dengan mereka. Bener aja, acaranya seperti arisan yang seru…perempuan-perempuan sepuh berusia 60an tahun bercanda mengenai ulah tante Joko dan mamaku.

Salah satu cerita unik tentang mereka adalah kejadian waktu aku dan kakakku di usia SD dipindahkan sekolah, secara otomatis mamaku juga memindahkan sekolah anak-anak tante Joko yang berusia sebaya ke SD yang sama. Seminggu berjalan tante Joko baru sadar kalau anaknya sudah bersekolah di tempat lain…. huwahaha kalau kejadian ini terjadi pada manusia di masa sekarang bisa-bisa terjadi pertumpahan darah.

Tante Joko sendiri karena menurut silsilah keluarganya merupakan turunan langsung dari kerajaan Majapahit jadi sangat gagah berani seingatku. Tiap kali terjadi suatu peristiwa yang bikin putus asa dirinya, dia langsung memompakan semangat kepada dirinya sendiri …”turunan Majapahit gak boleh putus asa dan menyerah.”.

Aku ingat cerita mama waktu tante Joko ujian skripsi S1 di Gajah Mada ( waktu itu pasti masih sedikit wanita yang kuliah ). Yang nguji professor ternama dan tante Joko dinyatakan tidak lulus. Dengan garang tante Joko merobek-robek skripsinya di depan sang professor sambil mengucapkan..” Turunan Majapahit ra pathekan gak dadi sarjana..” ( a.k.a. emang gue pikirin …aku gak akan kudisan kalau aku gak jadi sarjana). Huwahaha…

Oh begini ini ya..tiga tahun setelah seseorang meninggal; manakala air mata sudah mengering, hidup terus berlanjut bagi yang ditinggalkan, pada akhirnya yang dikenang dari almarhumah hanyalah hal-hal yang baik-baik. Tentunya jadi kewajiban kita selama masih hidup untuk mengisinya dengan sebaik-baiknya. Menyelesaikan pertandingan dengan baik.

Perasaan ini takkan pernah mati,

walau sampai akhir nanti kau selalu di hatiku,

Perasaan ini akan selalu ada meski kau telah tiada,

Tunggu aku di surga…”.(Tunggu Aku di Surga…. Tarzan Boys)

Di Jogja beberapa hari kemudian:

Penduduk di kota ini ditengarai memiliki harapan hidup yang panjang dibandingkan dengan penduduk lain di Indonesia. Dan sore itu nenekku di usianya yang akan menginjak usia 90 tahun sedang bercengkerama dengan beberapa grandma dengan usia sama bahkan lebih tua. Lucu juga melihat tubuh-tubuh renta itu duduk bersama sembari menikmati teh jahe – membicarakan damba mereka untuk menjumpai sang sakratul maut:

“Awake dhewe kapan yo matine…selak pengin je”. (Kapan ya kita mati..udah bosan hidup nih).

Begitulah hidup….yang mati ditangisi, tapi ada juga yang hidup ingin mati….

Gabriel- ingin hidup 100 tahun lagi

Komentar :

ada 0 komentar ke “Ternyata Aku Mencabut Nyawaku Sendiri”

Posting Komentar

 

Bilik Gemuruh (Chatroom)

Pelajaran SMP

Kokiers

HEADLINE NEWS
pengunjung sejak 29 April 09

Greeting