headlines

30 April 2009

SOS (sad o sad)

Dear Zev

Entahlah (sigh)....Really lost for words.

Yang terpenting adalah keadaanmu saat ini. Saya sungguh khawatir. Saya mengerti mungkin kamu ingin sendiri atau hanya dengan orang-orang terdekat di saat yang sulit ini. Tapi saya juga terlalu human untuk tidak mampu menahan menulis ke kamu. Tadinya mikir mau tanya tentang kamu ke Josh, maafkan saya kalau berubah pikiran dan langsung mengusikmu.

Saya memang tidak ikut dalam keramaian, tapi saya juga salah satu yang terguncang dengan tragedi yang menimpa KoKi. Sekali lagi saya kehilangan KoKi. Mudah-mudahan saya tidak akan juga kehilangan kamu.

Sebenarnya Zurich mulai hangat, cantik dan harum karena musim semi akhirnya tiba setelah musim dingin yang berat dan panjang, tapi apalah artinya itu kalau di Jakarta seorang teman baik justru sedang susah.

Dulu sekali saya pernah nemu ini tapi lupa sumbernya, begini:

You may write me down in history with your bitter twisted lies,You may trod me in the very dirt,But still, like dust, I'll rise.You may short me with your words,You may cut me with your eyes,You may kill me with your hatefulness,But still, like dust, I'll rise.

Oh ya, kemarin saya sempat nyemplung ke KoKidan nulis komen di artikel 'Killing Field' dan jadi tahu (dari asmod) kalau kamu juga suka spiritnya "Alexander Supertramp" dalam Into the Wild. That's great.

So, from Zuerich HimmelblauFear after fear,Tears after tears,I greet you with cheers,Let's go out and hug the sunAnd cryAnd danceAnd sing; Burn, Baby, Burn!

Well, then...Oh ya, kapan mau ke sini? Hihi...yook gw anterin manjat Mont Blanc? EigerNordwand? Ingat ga sumpah Sir Edmund Hillary kpd temannya TenzingNorgay untuk 'menahlukkan' Everest? We'll knock that bastard down!!!

Kalau sampai di puncak, jangan lupa kibarin bendera KoKinya si biru putih. Bikin foto yang kuerrren, kirim ke Kompas.

Hahaha...sekarang kamu knock down bastard yang satu itu dulu(you know what/who I mean). Dont forget, I'll be here and let me know if you need anything.

Santiara - Zurich

SELAMAT untuk Gubuk Baru KOKI :-)

Dear Zeverina,

Kaget benar rasanya sewaktu membaca pengumuman dicabutnya Koki dari Kompas. Wah, ternyata isu-isu yang dulu sempat beredar dan diklarifikasi oleh Zev sendiri, akhirnya terjadi juga. Well, inilah kenyataan yang harus dihadapi. Padahal saya dulu percaya Kompas sudah berubah mainstreamnya - berani mempelopori kebebasan berekspresi dan berpendapat, berani memberi ruang bagi khalayak untuk berkreasi dan tumbuh dewasa, dan berani memberi ruang bagi idealisme. Ternyata saya keliru besar.

Kompas sama sekali tidak siap untuk itu. Dan yang lebih membuat saya kecewa adalah tidak diakuinya Koki sebagai citizen journalism di Kompas, padahal siapapun tahu (terutama yang mengikuti perkembangan Koki sejak masih berupa kolom konsultasi kesehatan), bahwa Koki adalah cikal-bakal citizen journalism yang unik, beda dari media lainnya. Bagaimana mungkin Kompas sampai tidak mengakui hal ini dan membandingkannya dengan Kompasiana yang jelas-jelas berformat serta ber-content beda? Apakah karena nama-nama pengisi Kompasiana terdengar lebih "Nggegirisi" dan "Intelek" ? Atau ada sebab lainnya? Sungguh sangat disayangkan.

Kompasiana jelas berbeda dengan Koki. Kompasiana lebih berformat seperti "blog pribadi", sementara Koki berformat sebagai "blog rakyat", "blog khalayak", "blog semua orang". Bukankah sangat sayang jika bayi citizen journalism yang dilahirkan oleh Kompas akhirnya dibunuh oleh tangan Kompas sendiri? Tidakkah jika ada kekurangan, lebih baik memotong atau merubah kekurangan itu, daripada menghabisinya sama sekali? Apakah jika hanya kuping yang gatal, seluruh badan harus disetrum habis? Tidak, bukan? Tetapi apapun itu, kejadian ini sudah terjadi. Dan saya sebagai salah satu silent reader mendukung langkah Zev dan teman2 Koki lainnya untuk sesegera mungkin mencari tempat baru bagi Koki dan sementara ini bernaung dulu di gubuk.

Gubuk yang nyaman, Zev, karena gubuknya juga didirikan bersama :-)

Sekali lagi, selamat untuk gubuk barunya. Doa dan dukungan saya untukmu, semoga sukses mencari rumah baru. Dan semoga media baru yang mengambil alih Koki akan memberi ruang yang lebih fleksibel bagi kelangsungan Koki.

Bravo!

Salam, Seorang silent-reader aktif ;p - USA

Update Situasi Terakhir Z

  • Hari Selasa akan mengadakan pertemuan dengan DETIK.COM
  • Dalam 2 hari ini, weekend dan minggu depan sedang men-desain web baru untuk KoKi
  • Dalam tahap penjajakan dan pembicaraan dengan potential investors (individual and institutional)
  • Jadi sementara penjajakan investor berjalan, dalam saat yang bersamaan Z sedang design web baru KoKi
  • KoKiers dihimbau untuk tenang dan tetap semangat, cukup sudah kita menumpahkan unek-unek dan kemarahan kita
  • Yuk kita bergandengan tangan, kutip apa yang Obama bilang: YES WE CAN!!

Cara Mengisi Komentar di Blog Ini

admin

Terima kasih atas apresiasi dan semangat kebebasan berekspresi dalam komunitas Koki. Mudah-mudahan dengan energi gairah kebersamaan ini, api KoKi akan terus menyala dan menerangi dunia.

Dalam gubug yang uyel-uyelan ini, terkadang dibutuhkan sedikit pengertian dalam berinteraksi. Namun dalam kerumitan akan kita temukan keasyikannya. Begitu pula dalam mengisi KoKo (kolom komentar) di blog ini, yang sebenarnya cukup mudah langkahnya :

1. Klik "Komentar" (segera akan muncul jendela pop up)
2. Scroll Down jendela pop up,

Lihat gambar di bawah ini,




kemudian ikuti langkah berikut ini,



Nah, gampang ternyata. Selamat berkoko-ria.

ps.: situs/blog ini lebih mudah dan cepat dengan memakai browser mozilla firefox

Haiiiii KOKIERS....!

zevHaiiiii KOKIERS, Z seharian cari-cari rumah gubuk, hiks kok lumayan rumits ....hahahha... sabar yaaa.... Z berusaha sekeras-kerasnya dibantu beberapa KoKiers,dan teman-teman baik, termasuk salah satu media besar ada yang berminat ....doakan lancaaar yaaaaaaaaaaaaaa.... love youuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.......ntar Z komunikasi di tempat-tempat penampungan yang sudah kalian buat .....wokeh? Begitu? terimakasih untuk dukungannya, semakin membuat Z semangat, yihaaaa.......soriii berantakan kalimatnya hahhaha...dah gak bisa mikir lagi, hihi....
Posted by: Zeverina | Kamis, 30 April 2009 | 19:56 WIB.

HALAH itu manajemen kek persoalannya rumit aja aja sih: BILANG AJA Z JARANG MASUK KANTOR, HAHHAHAH..... sorriii ya lagi sibuk ngurus KOKI jadi kantor nomor 100, hahahha

Posted by: Zeverina | Kamis, 30 April 2009 | 20:31 WIB


sdr zeverina, silakan anda berbuat dengan sisa waktu anda. Maaf jika tindakan dari kami dirasa kurang berkenan dihati, setidaknya kami telah berusaha memberikan beberapa opsi pada sdr zeverina sendiri.

Posted by: Bocah Tua Nakal | Kamis, 30 April 2009 | 20:56 WIB

BUAT Z yang PALING PENTING INTEGRITAS PRIBADI dan PENGABDIAN PADA CITIZEN JOURNALISM, dan KEBEBASAN WARGA BEREKSPRESI, lainnya NOTHING!!!! OPSI LAIN SORRY YAAAA>>>>>

Posted by: Zeverina | Kamis, 30 April 2009 | 21:03 WIB

Bike To Home

".... Namun perbedaan pandangan dan komunikasi yang sangat lemah dengan pengelola KoKi berujung pada kebuntuan. Pada akhirnya perbedaan tersebut semakin terakumulasi dan kami harus mengambil pilihan ini. Bagaimanapun juga hubungan perusahaan dan karyawan, dalam hal ini pengelola dan penanggung jawab KoKi, adalah jelas aturannya. Tidak etis rasanya bila kami harus menjelaskan secara detail mengenai perbedaan pandangan dan kurangnya komunikasi tersebut untuk konsumsi publik. Ada faktor lain penyebab penutupan ini yang sebaiknya tidak dijelaskan untuk kebaikan pengelola KoKi dan KOMPAS.com. Sangat disayangkan, karena akhirnya KoKi dan KoKiers yang terkena dampaknya..." (Salam, Edi Taslim, mewakili manajemen KOMPAS.com)




kepada yth (yang terhebring) : pengelola gubug koki di tempat.
prabukoki hanya bisa ngasih susutante (sumbangan sukasuka tanpa tekanan) berupa kokikatur. semoga memuwaskan semuwa fihak.

ps. kapan neh acara motong tumpengnye (maksudnya buat selamatan pindah ke gubug yang ciamik ini?)

salam
prabukoki

29 April 2009

Dua Mangkok di Theresia

Lizzie - Nanjing & BurPit - Jakarta

Salah satu keinginan yang tidak bisa dihilangkan setiap mudik ke Jakarta adalah makan. Dalam arti makan makanan khas Indonesia.

Minggu lalu, aku berkesempatan mudik walau hanya 3 hari. Sebelum mudik sudah terbayang-bayang makanan yang wajib dikunjungi. Salah satunya adalah tempat jajan di sekolah Theresia, di Jln. Lombok.

Entah sejak kapan jajanan di depan sekolah Theresia ini menjadi kondang, bukan hanya anak-anak sekolah tetapi pekerja-pekerja perkantoran juga menyukai jajan di sini.

Rasanya sejak jadul belasan tahun lalu, ketika aku masih bekerja di Jakarta. Mungkin bagi yang menetap di Jakarta, jajanan di sana biasa-biasa saja. Tetapi bagi tinggal di luar negeri, duh jajanannya sangat istimewa.


Dimulai pada jam 12.30 , ketika selesai meeting tiba-tiba ada sms masuk “tunggu di kantornya BurPit, aku segera ke sana” hmmmm sms dari Buto.

Segera meluncur ke kantor burpit, keluar dari taxi lha ada yang nongkrong di tangga. Ups ternyata burung pipit sudah menunggu. Sambil menunggu Buto, kita sempat jajan di Sakura Anpan Bakery. Tidak lama kemudian Buto datang segera meluncur ke tempat kejadian tempat pertumpahan bakmi.

Jalan ini tidak berubah banyak, tetap seperti dulu. Gerobak-gerobak jajanan berjejer sepanjang jalan. Salah satu yang paling dicari adalah Bakmi Asun. Inilah foto gerobak bakmi Asun berikut Asun-nya.

Tanpa basa basi, langsung deh tancap pesan bakmi Asun 3 mangkok, eit buat bertiga ya, bukan aku sendiri. Hmmmm rasanya selangit deh…

Setelah bakmi, kaki melangkah ke depan nah kali ini rujak sasarannya. Dengan mangga, jambu dan bangkuang serta bumbunya hmmmm nyam nyam..


Habis rujak, kepengin makan gorengan…nah BurPit udah beli gorengan duluan nih kecil-kecil makannya banyak, hehehe ampun ya jangan diketok.

Gorengan yang kupilih tempe, ubi dan tahu. Ini juga dibagi sama Buto, secara Buto kan makannya banyak.


Habis gorengan, segera meluncur ketempat otak-otak. Ini otak-otak jadul bukan seperti otak-otak yang besar-besar, otak-otak ini kecil-kecil dan ada yang bulat-bulat..hmmm enak juga.

Sasaran berikutnya es goyang, nah tau kan es goyang. Bikinnya harus digoyang-goyang kali jadinya dinamakan es goyang. Ada rasa kacang, kacang ijo, kacang merah, cokelat.


Wuit, pas balik ke pangkalan ternyata sudah menunggu leker. Leker ini garing kriuk kriuk variasi lain dari martabak manis..ini katanya kesukaan BurPit.

Bike To Work


prabukoki, gambarnya kami boyong kesini. mumpung rumah gedongnya belum di kunci. ayo, kami tunggu goresan yang lain.

~admin~

Dari Pawonku ke Pawon Kita

Peony - Secuil Curhat-an dari Kokier Penggembira

Dear Zev and all Kokiers dimana pun ada berada…

Hari ini saya sedikit terhenyak saat mendapati ada rumah baru buat kita semua…

Rumah yang menurut sang Penggagas adalah “Gubuk”… tapi apa ada masalah ya kalo ukuran rumah kita gak segede ‘Mansion’??? enggak kali ya… khan yang penting kebersamaanya…

Bicara mengenai kebersamaan, ijinkan saya pada kesempatan kali ini ingin membagikan kenangan-kenangan manis saya bersama KOKI dan seluruh elemen pendukungnya, dari sejak awal ketemu ‘KOKI’ (masih kolom kesehatan..) hingga hari ini…

Let’s story back to the good old day…

Pada suatu hari (eh kok kayak ‘dongeng’ ya pembukanya) saya sedang sangat jenuh dikantor… iseng-iseng (berhadiah) saya klik semua situs warta yang saya tahu address-nya… pastinya gak ketinggalan kompas.com, kolom demi kolom saya buka sampai saya masuk ke Kolom Kesehatan dan tertumbuk ke satu tulisan menarik (cukup legendaries kalo menurutku) dari Ibu RO…. Sejak hari itu, saya gak pernah absen buka kolom ini tiap hari (abis, addicted lho..)

Singkat cerita, kolom ini punya nama yang bagus dan paten.. KOKI, kemudian rumahnya diobrak-abrik crackers dan akhirnya pindah ke Mansion dengan fasilitas srikiti (eh maksudnya sekuriti) yang cuanggihhhh tapi awalnya susah dibuka (mungkin karena internet connection di tempat saya agak lelet ya..).

Hari demi hari, saya asyik banget sebagai silent reader yang sangat setia, meski sebenarnya saya ingin sekali terlibat aktif didalamnya, hingga suatu hari di bulan Oktober 2008 saya membaca artikel Mas Plux di KOKIFood “Persekutuan Bumbu-bumbu Pesisir” dimana ada ‘cumi goreng item’ yang menggoda dan memang menu favorit saya… Tring… ada ide nih, saya tulis aja resep cumi item trus kirim deh..

Menunggu memang gak enak ya.. deg-degan dikit plus H2C (harap-harap cemas), sembari mikir, layak tayang gak ya… eh akhirnya ditayang lho… asli seneng dan bangga banget lho… maunya tiap orang dikabari sambil dikasih liat print-out halaman KOKI tersebut.. (norak ya… he..he..he..)

Kemunculan artikel perdana itu memacu semangat saya untung menulis lagi dan lagi, memperbaiki gaya penulisan dan tata artistik foto-foto hidangan saya yang akan disertakan dalam tayangan.. (ini semua karena saya mendapat masukan berharga dari beberapa Kokiers / Kokoers, thanks ya..).

Eh gak disangka, ternyata ada juga lho beberapa Kokiers yang sudi mencoba resep ala pawon saya di pawon mereka masing-masing… Jujur ada kebanggaan dan kebahagian tersendiri saat saya tau kalo menu-menu sederhana dari pawon-ku ternyata juga bisa hadir di pawon Kokiers lainnya..

Kebahagian juga bertambah saat menerima feedback atas resep-resepku yang mereka coba.. Ada beberapa yang kurang berhasil, tapi rata-rata sih sukses pada percobaan pertama.. (maklum khan resepnya sederhana)..

Ada juga rekan Kokiers yang sudi minta dicarikan resep-resep tertentu.. beberapa sudah saya penuhi tapi ada juga yang masih di-utang, tapi saya pasti penuhi suatu hari nanti, karena saya sudah janji dan janji khan utang yang mesti dibayar (ditepati)…

Hampir semua tulisan yang saya kirim, ditayang di KOKI, hanya ada 1 saja yang masih dalam ‘penantian’ entah apa masih bisa ditayang atau tidak… sempat juga sih agak sedikit sedih kok tulisan yang satu itu gak tayang juga… sedangkan tulisan-tulisanku berikutnya udah tayang…
Kembali, menikmati masa ‘penantian’ memang tidak mengenakkan…

Dalam masa penantian, ada beberapa tulisan sudah dipersiapkan… Belum sempat dikirimkan.. eh kok saya ‘nemu’ rumah baru… apa besok-besok saya ‘pos’ ke rumah baru aja ya…

Ohya, karena KOKI ini saya jadi lebih pinter lho… selain tambah pinter masak (thanks to Jeng Tjantik, Jeng Fabiola, Jeng Suika, Jeng Phie, Jeng SilviaU, Om JC, Jeng Jejen, Mas Bejan, dan Kokiers lainnya yang sudah berpartisipasi dalam Kokifood), saya juga jadi melek sejarah Indonesia dan internasional (terutama Amerika Serikat) – thanks to Pak Harry Lukman dan Pak Iwan S Kamah, saya juga jadi lebih pinter dalam potret memotret – thanks to Pak Djoko P, Romo Flores, Om JC dan Kokiers jago photography lainnya.. , saya jadi lebih pinter dalam ‘membahagiakan’ suami – thanks to Jeng La Rose D, Jeng Lea, Jeng Srikandi dan Kokiers lainnya, saya juga sering dapet hiburan segar dengan baca tulisan Mas Fire dan Nyi Dch, juga karena karikatur Pak Prabu… saya juga belajar banyak bagaimana bicara jujur apa adanya dari Jeng Ria Wassef, dan masih banyak ilmu-ilmu sosial lainnya yang saya yakin tidak akan pernah bisa saya dapatkan ditempat lain… Terima kasih untuk semua Kokiers dimanapun anda berada…
Dan untuk semua itu saya berterima kasih sebesar-besarnya kepada Mamak Zeverina, untuk semua jerih payahnya menggagas dan merawat komunitas kita ini…

OK deh semua… sampai ketemu lagi di rumah baru, biar ‘bukan mansion’ lagi, tapi tetap semangat ya… terus menulis dan saling memperkaya wawasan kita masing-masing…

Selalu memasak (dan menulis) dengan sepenuh hati, Peony

So Long, Farewell

Dengan berat hati 2 kata tsb harus diucapkan, tidak tega memang, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi.

Beberapa saat belakangan Z menghadapi tekanan-tekanan berat yang sampai pada kesimpulan KoKi harus bubar dengan paksa. KoKi dianggap bukan identitas Kompas, tapi Kompasiana’lah yang merupakan identitas ‘resmi’ dari Kompas. Clicks yang sehari mencapai 3 juta membuat ngiler Kompasiana. KoKi bukanlah citizen journalism yang diakui oleh Kompas, padahal KoKi lah cikal bakal citizen journalism Kompasiana....

Apa mau dikata...

Per 1 Mei 2009, KoKi yang belum genap 3 tahun usianya...harus rela untuk dibunuh oleh induk semangnya, oleh orangtua kandungnya sendiri....

Untuk semua KoKiers, silakan saja, seperti yang ditulis Juwita dan JC di http://community.kompas.com/read/artikel/2643 Silakan saja bagi siapa saja yang ingin bergabung dengan bentuk baru dari Citizen Journalisme versi ‘resmi’ Kompas ya bebas saja....

Sementara bagi yang rela untuk kembali untel-untelan (meminjam istilah Pak Djoko Paisan), seperti di rumah lamaaaaa dulu, ya mari mampir ke http://bravokokiers.wordpress.com/atau di http://koki-kolomkita.blogspot.comdan untuk mengirimkan tulisan-tulisan KoKiers masih di tempat yang sama ke kokizeverina@gmail.com atau zeverina.koki@yahoo.co.id atau bravokokiers@gmail.com atau koki.kolomkita@gmail.com

Rumah persinggahan itu dirancang untuk sementara waktu menampung KoKiers yang masih ingin berkumpul bersama sambil menunggu Z berpikir langkah-langkah yang harus ditempuh selanjutnya.....

Mari kita nyanyikan bersama So Long, Farewell....



Tapi apapun yang terjadi, legacy yang sudah kita tinggalkan bersama akan STAY FOREVER bahwa Langit KoKi pernah ada dan tetap akan ada....



Sekilas mengenai sejarah KoKi yang begitu pendek....

PENGUMUMAN RESMI KOMPAS.com


Redaksi KOMPAS.com - Jakarta

Terdapat beberapa pengumuman yang harus dicermati sehubungan pengembangan KOMPAS.com, antara lain :

1 Fungsi pengiriman artikel di situs KoKi akan ditutup mulai tanggal 1 Mei 2009.

Namun, artikel masih dapat dibaca hinggal tanggal 15 Mei 2009 yang kemudian semua artikel KoKi akan disimpan dalam Archive KOMPAS.com mulai tanggal 16 Mei 2009. Selengkapnya dapat dilihat pada pengumuman dibawah ini.

Dear KoKiers,

Sehubungan dengan pengembangan citizen journalism dan rencana integrasi system dengan KOMPAS.com dan juga Harian KOMPAS, kami bermaksud untuk membenahi sekaligus mengembangkan lebih lanjut proyek jurnalisme warga dan user generated content.

Saat ini ada dua situs jurnalisme warga yang dimiliki KOMPAS.com dengan brand extension masing-masing, yaitu Kompasiana dan Koki. Layaknya sebuah pengembangan, selain konsentrasi, kerja keras serta team work yang baik, faktor marketing dan promosi juga tidak kalah pentingnya. Adanya dua situs yang sama-sama berjenis user generated content dengan sebagian konten yang mirip, membuat pengelolaan dan pengembangan menjadi kurang efisien. Belum lagi aspek marketing dan promosi yang akan berlipat ganda sehingga menjadi tidak efektif.

Mengingat hal tersebut dan melalui beberapa pertimbangan, Manajemen KOMPAS.com memutuskan untuk menggunakan satu brand extension saja pada situs jurnalisma, yaitu Kompasiana. Dengan ini kami ingin menginformasikan bahwa mulai tanggal 1 Mei 2009, fungsi pengiriman artikel di situs KoKi akan ditutup. Situs KoKi akan tetap bisa dibaca hingga akhir 15 Mei 2009 dan kemudian akan disimpan dalam Archive KOMPAS.com (http://www.kompas.com/archieveweb/) mulai tanggal 16 Mei 2009.

Bagi KoKiers yang ingin berkontribusi berbagai tulisan dapat melakukannya di Kompasiana, dengan mengikuti system dan aturan main di Kompasiana.

Seperti disebutkan di awal, perubahan ini kami maksudkan untuk pengembangan yang lebih baik serta integrasi yang lebih erat dengan KOMPAS.com dan Harian Kompas.

Besar harapan kami apabila perubahan ini dapat dimaklumi dan didukung oleh KoKiers.

Terima kasih,

Redaksi KOMPAS.com

***************************

NOTE TAMBAHAN dari ZEVERINA ( PRIBADI ) :

KoKiers itu tadi pengumuman resmi dari pihak Kompas.com yaaa....

SELANJUTNYA Zev akan dilepaskan dari community. kompas.com dan ditugaskan di tempat lain, namun hingga hari ini Z belum memutuskan untuk menerima penugasan baru tersebut ataukah TIDAK (dan memilih jalan lain) .... untuk yang satu ini biarlah menjadi urusan Z pribadi. Thank you. .... ternyata usia KoKi tidak sampai ulangtahun ketiga yaaaa .... ya sudahlah meskipun masih 4 bulan lagi.....Z ucapkan Happy Birthday KoKiers, 24 Agustus 2009......terimakasih untuk obrolannya, untuk selengekan-nya , untuk balapannya, untuk semua konflik yang tidak indah...hahaha, semuanya mewarnai hari-hari Z dan menjadi kenangan tak terlupakan.

Tadi pagi ada kutipan dari seorang KoKiers, dia menulis begini:

"Pemberontakan telah usai tapi petualangan baru saja dimulai..."

Hehe he gak tahu quotes dari mana...

Wokeh, Z enggak bisa ngomong banyak, karena ini sangat emosional buat Z..... sampai jumpa di petualangan berikutnya........ entah dimana.....

Bravo KoKiers.... i love youuu semuanyaa .....

Salam

Zev

28 April 2009

Bukan Cuma Ngebut yang Bikin Benjut!

Fire - Yogyakarta

Jalan kampung kadang menjadi sarana nyidat (jalan pintas) bagi pengendara motor. Bisa karena menghindari kemacetan maupun momen (razia polisi). Tapi ada juga yang ketagihan untuk numpang lewat terus karena menikmati kemulusan jalan yang terpelihara (patungan warga kampung sekitar) bila jalan utama dihiasi kerusakan dan lubang.

Selain jalan kampung jadi padat, yang bikin jengkel warga adalah perilaku pengendara yang suka ngebut. Plang "Bukan jalan umum" di ujung jalan, sudah tak mempan lagi mencegah orang luar melintas. Jika sekedar plang "Jalan pelan-pelan" atau "Banyak anak-anak", tak digubris lagi. Maka perlu pasang plang peringatan yang lebih sangar lagi, dilengkapi dengan konsekuensinya. Semacam "Ngebut benjut" dilengkapi dengan gambar pukulan kasti atau plus gambar tengkorak. Entah apa sudah ada yang bemar-benar benjut karena ngebut di situ, saya sendiri tak berminat "memverifikasi" kebenaran dalam isi peringatan tersebut. Kepala nggak benjut saja masih sering salah membedakan antara bibirnya Angelina Jollie dengan Dorce, gimana kalo benjut karena digebuki.

Sebagian kampung melakukan tindakan preventif dengan memperkerjakan polisi tidur. Nah, mau tidak mau pengendara musti mengurangi kecepatan jika tidak mau jendul-jendul terus dan bila dipaksakan ngebut bisa ngguling atau nyasar di selokan. Jadi menggunakan mekanisme "self-service", silakan ngebut dan benjut sendiri. Kadang polisi tidurnya dalam jumlah yang overdosis, belum berapa meter, eh sudah ketemu lagi .... Ada juga yang konfigurasi polisi tidurnya cenderung "over acting" dengan ketinggian yang nggak kira-kira, akibatnya knalpot sejumlah mobil menjadi benjut karena terpaksa 'bercengkerama' dengan gundukan polisi tidur. Ada juga sih kawasan yang tak perlu polisi tidur, tapi kalo nekat ngebut tetep bisa benjut, lha soale polisine malah melek kabeh, he he he .... coba saja ngebut di dekat kompleks polisi atau kompleks tentara ...

Waktu SD, kepala benjut sering karena benturan waktu dolanan dengan kawan-kawan. Ketika sedang lari main betengan mau ngumpet ke balik tembok, eh dari balik tembok juga ada yang sedang lari ke sini. Akhirnya jadilah kami bertatap muka dalam arti yang sebenar-benarnya dengan sukses. Peristiwa jedugan bersejarah itu menghasilkan benjut di kepala masing-masing dengan skor akhir 1-1. Pulang sekolah langsung ngaca untuk memeriksa berapa besar perolehan benjut hari ini sambil mengelus-elusnya supaya lekas mengecil. Sepertinya besarnya benjut berbanding lurus dengan kecepatan lari. Untunglah benjut tersebut hanya masuk kategori benjut stadium satu sehingga beberapa hari saja sudah lenyap.

Suatu hari pulang sekolah, sedang duduk-duduk di depan jalan ke SD saya, serombongan anak nampak berhamburan mendekat. Sambil merunduk-runduk dan tangan menutupi kepala, mereka berteriak, "Awas ... tawon endhas .... tawon endhas ..." Langsung pada bubar nggak karuan. Setelah tenang dan tawonnya tak terlihat lagi, kok ada yang ngelus-elus kepalanya? Ternyata bukan karena dientup (sengat) tawon, tapi benjut kejedug gara-gara panik. Kurang tahu, ada tawon endhas (kepala), mengapa nggak ada tawon bokong ya? Pasti orang yang dikejar tawon tersebut berlarian sambil memegangi pantatnya masing-masing.

Kalo menginap di rumah famili saya suka berjalan-jalan di kebunnya yang ditumbuhi bermacam pohon. Ada kejadian yang membuat saya jadi lebih waspada, ketika tiba-tiba sebiji kelapa jatuh tepat di depanku. Untunglah nggak jadi ketiban kelapa, nanti kepalaku bisa benjut. Maklum kepalaku bukan dari tipe yang dilatih untuk memecahkan batu bata dan balok es. Ada yang masih ingat perbedaan antara kelapa dengan kepala? Keponakanku ketika sedang asyik-asyiknya belajar merangkak, sering sekali benjut karena nyeruduk ke sana-sini. Apalagi kalo main di bawah meja, sering kejedug (ada juga yang menyebutnya kejentos atau kedadug) terus mewek. Baru mereda tangisnya setelah dikeleki ibunya, hmmm ... mungkin itulah obat benjut yang manjur.

Saya sendiri sering kejedug ketika ngumpet di bawah tempat tidur karena dicari-cari kakak, dan mesti buru-buru kabur ketika kepergok. Saya paling jengkel ketika sedang mencari-cari sesuatu di bawah meja terus ada yang manggil dan ngagetin, soalnya seringnya kepala jadi kejedug.

Penyebab benjut lainnya adalah buru-buru ketika naik angkot. Sudah dikasih tahu kalo masuk angkot itu mesti nunduk dulu, lupa karena kemrungsung, jadinya kepala ketanggor di pintu angkot. Sakitnya sih tak seberapa, malunya itu loh .... Seandainya Shaquille O'Neal (atlet NBA) yang tingginya dua meteran itu tiap hari naik angkot, mungkin kepalanya bisa benjut-benjut karena probabilitas kejedugnya lebih tinggi. Ada benjut lainnya yang kerap bikin malu. Seperti iklan satu produk minuman, dimana karena jalan meleng maka ketanggor tiang listrik.

Ada juga di iklan pembersih kaca, yang sangking kinclongnya kaca nggak kelihatan dan bisa bikin kucing kejedug. Nah, kalo kasus 'benjut berhadiah' yang kedua ini, pernah bikin saya keki juga, untung habis itu tengak-tengok sekitar nggak ada yang memperhatikan. Kalo panjenengan pernah kejedug kaca sampe jidatnya benjol, itu bisa membuktikan tiap kali jalan jidatnya selalu lebih maju beberapa senti ketimbang hidung. Tapi kalo panjenengan kejedug kaca terus kacanya yang jebol, ya itu artinya keseringan latihan full-body-contact.

Terakhir, kepala kita berpotensi benjut kalo ngumpetin penitinya Mamak Zev, berani? Zinggg ....

Baiklah teman-teman, apalagi yang bisa membikin kepala benjut? IMHO & FYI GBU ASAP.

Sang Putri dan Ancaman Berdarah

Nyi Dch - Kanada

Hai kawula semua, seperti biasa Nyi muncul lagi membawakan cerita tentang taman sari putri Zena dan hal-hal menarik yang terjadi didalamnya (menurut Nyi lho...)

Terbetik kabar bahwa sang putri sedang bermuram durja. Biasalah gosip di taman sari ini kecepatannya seakan kilat menyambar atau lebih kerennya seperti kecepatan cahaya wus wus wus semua kawula langsung membicarakannya. Ada apakah gerangan dengan sang putri? semua bertanya-tanya. Para tetua, penasihat dan ahli istana berkumpul untuk mendiskusikannya. Rapat penting dipimpin oleh paman patih JC Tinggibanget.

Paman Patih : Saudara penasihat dan ahli istana sekalian, saya adakan rapat penting ini sehubungan dengan keadaan putri kita tercinta.

Peserta rapat : Berdengung suara-suara ramai...ada apakah gerangan rupanya paman patih

Paman Patih : Sepertinya sang putri kita terkena penyakit "Ngambek". Yaitu penyakit yang agak membahayakan. Tanda-tanda penyakit itu adalah pembengkakan pada area sekitar bibir membuat bibir menjadi lebih maju dibandingkan hidung dan juga bola mata menjadi lebih besar atau istilah kedokterannya "melotot". Membuat yang terkena penyakit itu jadi nggak mood untuk hal-hal tertentu.

Peserta Rapat : Wah berbahaya kalau begitu penyakit "Ngambek" itu. Kenapa putri tercinta bisa terkena penyakit itu pamanda patih?

Paman Patih : Sang putri kita menerima ancaman.

Ki Ageng Dikitikkitikgeli : Ancaman apakah itu? ancaman putus cintakah? wahai anak-anak muda, yang muda yang bercinta. Ancaman putus cinta memang bisa membuat dunia tak bergairah, sedih, merana. (ini yang bicara Ki Ageng dikitikkitikgeli apa bang Rhoma Irama sih hehe..).

Paman Patih : Bukan bukan ancaman putus cinta, tapi ini ancaman berdarah. Ancaman yang berupa kecaman.

Ki Wesewesewes Bablasangine : Wah wah ini merupakan hal yang serius bisa membuat perekonomian disekitar taman sari mengalami gonjang ganjing resesi.
Paman Patih : Hah bisa berdampak sebesar itu Ki Wesewes?

Ki Wesewesewes : Ohya karena dengan terkena penyakit "Ngambek" putri akan nggak bergairah lagi untuk bercanda, bercengkrama dan membacakan surat-surat dari para kawula disegala penjuru mata angin. Membuat taman sari akan sepi karena para kawula nggak lagi mau bermain-main ditaman sari bila tidak ada sang putri. Sang putri dan taman sari adalah ibarat sisi koin mata uang, selalu bergandengan tak terpisahkan. Nah apabila hal tersebut terjadi maka kedai-kedai kopi, sotomie, sop buntut, kios underwear, dan kios-kios lain disekitar taman sari akan menjadi sepi pelanggan. Kelamaan hal ini akan berpengaruh pada geliat dinamisme perekonomian ditaman sari juga. Yah istilah kerennya chain reaction begitu.

Peserta Rapat : Terdengar suara-suara ahh ohh ahh ohh yang panjang.

Paman Patih : Wah ternyata memang gawat dampak dari penyakit tersebut. Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang ini, adakah yang mempunyai ide?

Maka ramailah para peserta rapat mengemukakan pendapat dan idenya masing-masing. Seperti Pendekar Lembah Silikon yaitu Ki Sirpa Nagasari menyerukan agar penyanyi kenamaan istana Pendekar Dangdutsejati untuk sesering mungkin bernyanyi didekat putri. Tapi hal ini didebat oleh yang lain, "wah jangan, takutnya nanti sang putri malahan tambah sakit dari "Ngambek" stadium 1 menjadi "Ngambek stadium 21/2 plus stress disorder" lebih berbahaya. Bagaimana kalau kita menundang pakar-pakar seksologi kenamaan, ujar salah satu peserta rapat, Ada pakar baru lho bernama Nyi Sri Kendiair. Lho ini sih nggak akan mengurangi masalah, malah akan menambah masalah, balas yang lain.

Bagaimana kalau putri lebih berkonsentrasi kepada hobi jadi nggak melulu memikirkan taman sari, usul Ki Djoko Baikpisan, seorang tetua istana yang memang berjiwa seni dan hobi tinggi. Sang putri kan bisa memilih apa mau berkebun bunga, melukis, ataupun memelihara burung. yang terakhir ini konon therapy yang manjur untuk menghilangkan stress. Bermain-main dengan burung nggak perlu setiap hari, beberapa hari sekali akan membuat pusing-pusing hilang dan wajah kembali ceria berseri.

Tiba-tiba Datuk Meringkik Kencangsekali mempunyai ide yang briliant. "Bagaimana bila kita kumpulkan para pendekar dan ksatria agar bisa melawan penyakit berbahaya ini dengan ilmu ajaib. Saya dengar-dengar sekarang ada ilmu kanuragan baru bernama ilmu Kuping Kawat Hati Besi". Ilmu yang pertama kali diperkenalkan oleh Ksatria ternama Gatot Kaca, Otot Kawat Tulang Besi ini telah dimodifikasi sedemikian rupa. Selain itu juga ada ilmu lainnya yaitu ilmu "Muka Tembok Jiwa Beton". Nah apabila putri telah mempunyai ilmu ini saya yakin jangankan penyakit ngambek atau ancaman berdarah. Ancaman penagih kartu kredit aja nggak bakalan lagi membuat putri sedih.

Semua peserta rapat rupanya setuju dengan usulan Datuk Meringkik itu. Maka secepat mungkin dikumpulkanlah para ksatria-ksatria dan pendekar dari seluruh penjuru kerajaan yang mempunyai ilmu-ilmu sakti nan ajaib itu. Maka hari itu ramai berkumpul para kawula ditaman sari untuk melihat para ksatria dan pendekar menurunkan ilmunya kepada sang putri dan juga para kawula lain yang berminat. Semua yakin apabila makin banyak kawula yang mempunyai ilmu ini, maka hal-hal aneh yang terjadi ditaman sari akhir-akhir ini akan menghilang dan taman sari menjadi kembali ramai, ceria dan bergejolak secara positif.

Dipojokkan Nyi Dch, Nyi dan ni lainnya sibuk bercuap-cuap sambil menonton keramaian yang terjadi. Tiba-tiba Ni Lea Lokakarya nyeletuk, "ancaman berdarah ityu keikk appaa siyy? nyang aye tau kalu berdarah-darah ityu cuiman pas malem pertama ayza". "Aduh Ni Lea bukannya berdarah yang itu", jawab Ni Mea Mekarsari. Ini hanya penggunaan gaya bahasa hiperbola "ancaman berdarah" kenyataannya sih nggak ada yang berdarah-darah lah. Pembicaraan pun berlanjut tambah seru tentang pengalaman berdarah disaat berdarah-darah setiap bulannya, yah pembicaraan khas para wanita lah. Nggak nyambung kan, yah itulah wanita, kita-kita senang ngobrol segala hal dari ngalor sampe ngidul.

Nyi Dch pun pamitan pada nyi dan ni lainnya untuk maju kedepan. Nyi Dch mau ikutan ngedaftar supaya bisa punya ilmu "Kuping Kawat Hati Besi dan Muka Tembok Jiwa Beton juga, soalnya akhir-akhir ini Nyi punya problem sama tukang sayur, tukang kreditan rantang dan kreditan kutang. Mereka nggak mau ngerti kalo Nyi belum bisa bayar dulu tagihannya, yah maklumlah dengan profesinya Ki Ch sebagai Pengasah keris para ksatria, ada saat-saatnya banyak pelanggan ada kalanya seret. Nyi sih udah ngusulin supaya Ki Ch juga coba melebarkan sayap usahanya, ya mungkin juga bisa sekalian ngasah pisau atau golok gitu.

Ok deh begitu dulu cerita Nyi kali ini yah. Tadi abis diturunin ilmu "Muka Tembok Jiwa Beton" muka nyi beneran kaku serasa tembok, mungkin karena nggak terbiasa...ya takes time lah untuk membiasakan diri dengan hal-hal yang baru. Buat kawula lain yang hari ini nggak sempat datang dan mendapatkan ilmu tersebut, jangan takut. Ilmu ini bisa ditransfer melalui jalur tehnologi canggih kok. Tinggal telepon 1-800, atau 2-1600 atau 3-2400 yah 3-2000 lah buat penglaris nih. Ayo ayo buruan deh telpon.

Pengakuan Seorang Pecandu KoKi

Imung Hikmah - Pecandu Dini

Pecandu apa?

Saya bukan seorang perokok, dan tidak pernah merokok seumur umur. Saya bukan seorang peminum, meskipun pernah kepeleset minum anggur dalam beberapa jamuan di masa lalu. Saya bukan pencinta dadah dan sejenisnya. Saya tidak pernah tergantung pada obat-obatan. Bahkan obat puyeng yang banyak diiklan tv pun saya tak sanggup meminumnya karena alergi. Jadi terus terang, bukan inilah sebab saya menjadi seorang pecandu.

Jika benar saya sekarang menjadi pecandu, pastilah masih dalam tahap dini. Banyak orang yang saya lihat sudah menjadi pecandu sejati, dan jauh lebih gelo dan militan dari sikap kecanduan saya, yang masih dalam tingkat kewajaran. Saya kecanduan community dot kompas dot com. Saya seorang Kokiholic.

Tanda Tanda Kecanduan Saya

Tanda pertama yang bisa saya kenali adalah perubahan kebiasaan saya sepulang dari kantor. Biasanya saya masih saja mengerjakan pekerjaan kantor, meskipun sudah di rumah. Dan di waktu week-end, saya biasanya asyik dengan buku, ke bioskop, atau nonton film series dari DVD bajakan. Semuanya berubah semenjak saya kepincut Koki. Dirumah? Buat apa kerjaan kantor, mending ngoki. Nonton DVD? Ih tidak seseru berselancar di Koki, atau nulis untuk Koki.

Saya juga tidak pernah tergoda mencandu blog, soalnya sepi sih. Dan walaupun kawan saya banyak (pamer ah..), jarang jarang saya mengapdet facebook saya. Sebaliknya dengan Koki, frekuensi kunjungan saya mulai meningkat melebihi dosis minum obat per harinya. Kecanduan saya ini masih dalam tahap dini, bayangkan tuh banyaknya para pecandu akut koki macam JC, Iwan, PDD, Reef, Caridaki, Nuchan, Linda, Lyna, Reef, Wes, dan banyak lagi (Kalau saya list semua disini, pasti panjaaang daftarnya) yang komentarnya bertebaran di kolom mana saja, di profile siapa saja.

Sebelum ini, saya tak pernah terlalu perduli dengan barang barang elektronik komunikasi. Laptop dan desktop cuma syarat untuk bekerja. Bahkan saat saya memerlukan untuk pekerjaan sampingan menterjemah film, mengunduh film dan softwarenya dengan telkomnet yang rada lelet, saya masih cuek. Tak punya handphone pribadi, saya masih cuek. Tapi semenjak koki mewarnai hari hari, saya sudah mulai melirik lirik dan bermimpi memiliki iphone supaya lebih gampang akses koki. Saya sudah mulai frustasi dengan 3G yang kecepatannya bikin darah naik ke kepala. Saya sering kesal bukan kepalang karena usaha bikin komen hampir tak pernah berhasil, gagal simpan terus, kecuali jika pakai wifi di café, atau di kantor. Tak tau kenapa –maklum rada gaptek - laptop dan koneksi saya di rumah sepertinya anti banget sama komentar. Maksud hati mengomentari apa daya sistim di Kokinya menolak…(ternyata bukan cinta saja saya sering ditolak, komen Koki pun ditolak, terlalu!)

Bukan Cinta Pandangan Pertama

Kesan Pertama melihat koki, begitu menggoda. Tampilan sangat apik, lay-outnya ringkas dan gampang dinavigasi. Tapi sekilas karena banyak tulisan, kolom dan komentar bertabur kata kata koki, saya masih terbingung bingung. Pikiran saya yang masih lemot saat itu masih belum tau Koki ini apa? Koki ini untuk siapa? Sehingga saya menduga: Koki, tempat curhat orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Saya tinggal di negeri coret, jadi gak masuk hitungan dong! Koki? Jangan-jangan ini cuma untuk orang Indonesia yang berprofesi koki dan tinggal di luar negeri? Atau tempat berkumpul maya para koki Indonesia dimana saja berada, di seluruh dunia. Saya bukan semua itu. Untuk beberapa waktu, setelah klik pertama saya ke koki, saya tak pernah kembali lagi…

Kesempatan berikutnya mengunjungi koki terjadi secara tak sengaja. Saya sedang capek dengan berita berita koran yang tak ada habisnya bicara tentang korupsi, tragedi dan para petinggi. Juga TV lokal yang penuh dengan iklan dan sinetron tak bermutu. Sementara mengunjungi blog juga kurang seru. Jadilah saya menemukan kembali sang Koki, ‘koran’ online yang pakemnya paling nyeleneh. Singkat kata cinta saya pada koki, bukan jatuh cinta pada pandangan pertama. Koki buat saya seperti zat adiktif yang belum terasa enaknya dengan cuma sekali coba. It’s an acquiring taste. Perlu terbiasa untuk membuatnya terasa.

Kenapa KoKi?

Kenapa saya mencandu Koki? Ibarat swalayan, Koki lengkap banget mau yang model serius ada, yang doyan jorok juga ayok. Bahasa dan cerita apa aja ada, dari yang serius dan intelek, yang curhat jujur hancur di Koki trash, sampe yang bikin ngiler di Koki Food.

Bahasanya asyik, ringan dan sederhana. Ceritanya beragam. Bisa international, tapi juga personal. Inspiratif, tidak biasa dan membuka wawasan. Dalam, dangkal, tidak menghakimi. (tidak selamanya kita ingin membaca yang dalam dalam terus kan?). Bumbunya wuah mantap. Bumbu ini adalah komentar komentar tertulis dari para pembaca. Ibarat sayur berbumbu rupa rupa, komentarnya ada yang pedes seperti sambel, ada yang manis dan gurih, ada juga ibarat nasi goreng ditambah bumbu rendang, maksudnya komentar OOT – out of topic. (saya sebelumnya juga tidak melek istilah istilah kayak gini.) Tapi biar bagaimanapun, ajaibnya semua bisa bersatu menjadi smogasboard gourmet meal jurnalisme awam yang super lezat, bisa dinikmati oleh siapa saja, dalam kesempatan apapun. Belum tentu makanan dari restoran bintang lima selalu lebih lezat dari kaki lima, kan?

Kenapa saya mencandu Koki? Saya takjub pada komentar dan para komentatornya. Komentator American Idol? Wah tak ada apa apanya dibandingkan dengan Koki punya. Para komentator Koki banyak yang ajaib dan mengesankan! Super sportif dan suportif terhadap tulisan dan situasi dalam tulisan tersebut , kadang sinting juga, tapi sangat sedikit yang suka bikin runyam. Banyak para pecandu yang datang ke artikel yang sama hanya karena komentarnya! Kesintingan komentar para Kokiers buat saya terbukti lewat komentar di artikel saya ‘Ih Jorok Ah’. Yang belum baca, ini link nya: http://community.kompas.com/read/artikel/2612 (tapi yang tak tahan godaan, atau yang tak suka hal hal jorok, sebaiknya sih jangan baca. Nanti kesal sendiri. Untuk saya, sumpah! Komentar para Kokiers disana jauh lebih seru daripada tulisannya. Baru sekali itu seumur umur saya tertawa ngakak dan ngikik sampai sakit perut membaca komentar.

Yang saya takjub juga adalah dengan Zeverina, moderatornya Koki. Saya sering bertanya tanya, bagaimana dia mengatur jadwal baca artikel artikel yang masuk ke emailnya, singlehandedly? Bagaimana Zev memilih, memilah dan mengimbangi artikel untuk masing masing kolom di Koki? Belum lagi memilih dan memilah foto foto yang cocok untuk tiap artikelnya. Ditambah kerewelan para Kokiers yang meminta ini itu, sehingga beberapa kali Zev mesti turun gunung dari pertapaannya. Mengingat menjadi moderator KoKi bukanlah pekerjaan utamanya, bisa dibilang ini merupakan dedikasi yang luar biasa.

Para KoKiers Di Mata Saya.

‘Persaudaraan’ maya para Kokiers sungguh aneh. Banyak dari mereka yang mungkin belum pernah saling bertemu muka, tapi rajin berkunjung ke link tulisan yang kadang ramai disebut lapak. Dan rajin juga berkunjung, menyapa dan mengobrol di kamar profile pribadi. Waktu bukan halangan. Saya sering melihat banyak pecandu Koki yang sepertinya selalu tune-in disini, istilahnya ngeronda. Salah satunya jeng Dewi Meong, yang sempat saya tanya: Kapan mandinya, kapan makannya, kapan tidurnya, kapan mainnya, kalau selalu di Koki? Kapan?

Saking militannya para pecandu akut ini, mereka berlomba lomba untuk menjadi yang pertama di lapak komentar, dan kalaupun tak sempat membacanya, mereka akan tinggalkan pesan disana, akan membaca artikelnya segera. Dan saking mencandunya, para Kokiers tak segan segan menuntut Zeverina sang Moderator untuk memasang artikel baru, meskipun baru saja kemaren artikel baru dipasang.

Barangkali tepat meminjam moto salah satu produk roll on (bukan bermaksud iklan) untuk para Kokiers ini: Setia setiap saat. Dan kesetiaan mereka terhadap para teman maya yang menjadi pengunjung tetap Koki, sangat luar biasa. Contohnya tulisan RYC No Mama tentang budaya Jepang dimatanya, baca disini: http://community.kompas.com/read/artikel/2647 yang dihujat oleh seorang ‘fankompas’, dibela oleh para Kokiers – istilah yang dipakai untuk para pembaca dan pecandu Koki. Sebegitu dahsyatnya kesetiaan dunia maya di Koki, saya penasaran juga sih, apakah ada jalinan persahabatan, percintaan atau perkawinan yang terjadi atau terluka lantaran Koki. Siapa tahu ada yang mau berbagi cerita?

Sebagai pecandu pemula, saya tak ingin lancang dan memang tak punya ilmu serta pengalaman untuk menjelaskan sejarah Koki atau kaleidoskop Koki. Yang ini sih jatahnya para veteran Kokiers untuk bikin tulisan. Kayaknya sudah ada banyak yang ditulis, dan yang pernah saya baca ditulis oleh Piper dan JC. Tulisan Piper: Koki in My Memory 2005-2008. Tulisan JC, banyak. Maaf saya tidak kutip linknya, mampir saja deh di kolomnya beliau, ditanggung puas.

Buka Buku

Mungkin bagi para pecandu Koki akut, perilaku saya di Koki belum bisa dikategorikan sebagai pecandu. Saya belum mengisi profil. Belum tau bagaimana bikin avatar, apalagi sampai bisa menyisipkan lagu dan video. Komentar nya masih satu dua. Belum tahu Koki luar dalam. Banyak istilah di Koki yang masih asing. Singkatan Koki pun masih menebak nebak, komunitas kita, kompas kita, kolom kita …Tapi untuk saya, Koki sudah mengubah perilaku biasa saya menjadi tidak biasa, jadi saya pikir, saya sudah menjadi pecandu, meskipun masih dini. Dan dengan senang hati, saya mulai buka buku episode kecanduan saya sembari menanti saat menjadi pecandu akut KoKi.....

Banyak Partai Politik, Banyak Penyakit?

Iwan Satyanegara Kamah - Jakarta

PERLUKAH pemilu dengan puluhan partai politik? Tidak, teman saya menjawab. Baginya, ia juga tak suka partai politik (parpol) hanya dua buah seperti selama 35 tahun jaman Presiden Soeharto, yang tak kuat menampung kemajemukan masyarakat, sehingga tumpah menjadi kekuatan yang menghempaskan akar kuat kekuasaan regim Soeharto.

Bagi saya, pendapat itu amat bijak. Namun apa laku dijaman kini? Ketika tiap individu ingin bikin parpol sendiri-sendiri, tempat dia membuat ruang ego ekspresinya, juga wadah mendulang uang untuk kantongnya.

“Pemilu di Indonesia adalah pemilu paling rumit di dunia”, komentar pengamat Uni Eropa pada Pemilu 2004. Rumit karena membebaskan parpol tumbuh bagai jamur kala hujan dan boleh ikut pemilu jika mampu melewati suatu syarat, yang mudah mereka penuhi, Rumitnya lagi, puluhan parpol punya ribuan kadernya yang minta dipilih rakyat (yang kebanyakan tak mengenal mereka dan memusingkan rakyat cara memilihnya), untuk duduk di kursi empuk parlemen nan bertabur fasilitas super mewah dengan guyuran uang hasil gaji, bonus dan uang lelah amat besar, serta ironinya timpang jauh dengan penghasilan rakyat yang mereka wakili. Plus mencuri uang atau main mata untuk mendapatkannya, kalau tak tercium hukum.

Andai tiap anggota parlemen menghirup oksigen 60 kali setiap menit, artinya sekitar 155 juta kali mereka hirup udara sebulan. Jumlah itu, jauh dibawah penghasilan bersih mereka sebulan dalam rupiah, setelah dipenggal berbagai potongan wajib. Hitungan kasar saya, sekali tarik nafas saja, anggota parlemen terhormat, mendapat uang sekitar lebih sejuta rupiah! Kalau semudah ini menjala rupiah, ide mengurangi jumlah parpol yang ikut pemilu, menjadi teriakan di tengah gurun.

PENYAKIT LIBERAL

Ada masa parpol berjaya dan dibiarkan bagai sejuta bunga bersemi antara 1945 hingga 1959. Kurun itu dicap era Demokrasi Liberal. Rakyat Indonesia yang masih tertatih dengan derita buta aksara latin yang kronis, bergaya hidup berpolitik bagai negara barat yang sudah mapan melesat maju. “Demokrasi Liberal bertentangan dengan UUD 1945”, tulis banyak ahli. Tapi mengapa rakyat bisu dan diam tak menghiraukannya? Ada tujuan yang lebih mulia dari cuma berteriak menentang demokrasi itu dengan ratusan parpol. Lebih kepepet mengurusi revolusi, agar Indonesia tetap berdiri, berjalan, berlari, bila perlu terbang, seperti diimpikan Soekarno.

Apakah penyakit yang terdeteksi selama era liberal itu? Adanya 40 parpol dan lebih dari 130 organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, kumpulan pemilih serta calon perorangan, yang ikut pemilu paling demokratis, paling cantik dan paling liberal di dunia yang dilakukan 43 juta pemilih Indonesia tahun 1955

Ada parpol yang namanya Acoma (Angkatan Comunis Muda) atau Grinda (mirip Gerindra). Bahkan terdapat calon perorangan yang meraih satu kursi. Namanya Raden Soedjono Prawirosoedarso, seorang tokoh kejawen dan kebatinan dari Madiun, Jawa Timur. Gempitanya Pemilu 1955, tak semata hasilnya yang mencerminkan betapa majemuknya sebuah bangsa belia nan jauh di ufuk timur sana, yang terbiasa menghempaskan demokrasi ke dalam keranjang sampah.

Simak saja pemenang Pemilu 1955. Ada golongan nasional, agama dan komunis sebagai pemenang papan atas, ditambah pemenang papan tengah, yaitu parpol berkutub pada islam, protestan, katolik dan sosialis. Sebuah hasil yang melambungkan Indonesia sebagai negeri “two thumbs up” dalam berdemokrasi di muka bumi saat itu.

Yang membuat rakyat jadi pesakitan, karena adanya puluhan parpol yang ada, lebih memilih perang argumentasi ideologi tanpa jedah, dengan perdana menteri gonta ganti, daripada bekerja serius dalam kerangka waktu yang sudah dirancang. Agar tak berlarut, Soekarno menghentakkan sebuah ide kejutan, di saat orang sedang menikmati liburan di hari Minggu. “Kembali ke UUD 1945!”, teriaknya dalam sebuah dektriT pada 5 Juli 1959 di tangga Istana Merdeka. Artinya, tak ada lagi partai-partaian yang berbiak tanpa guna. Lho, gimana dengan parlemen hasil Pemilu 1955 dengan puluhan parpol pemenang? “Bubar!”, pekik Soekarno.

PENYAKIT ‘KOLESTEROL’

Soekarno dan Soeharto tak menyukai banyak parpol yang bersemi bagai bunga merekah. Setelah 5 Juli 1959 hingga kejatuhannya, parpol yang tak searah dengan Soekarno, banyak disindir, dikritik, dikecam dan dibenamkan dalam sejarah dengan pembubaran. Bonusnya, banyak pentolan beberapa parpol penentangnya, diinapkan di rumah tahanan militer atau di lempar dalam jeruji sel besi penjara, dengan variasi tuduhan politis yang kadang dibuat-buat.

Sedangkan bagi Soeharto, adanya puluhan parpol yang tumbuh bersemi untuk ikut pemilu, tak tega ia pangkas. Lebih baik dibiakkan saja dalam pot, sehingga mudah dirawat. Kalau perlu dibonsai, agar lebih terlihat demokratis. Untuk usaha ini, Soeharto sangat sukses melakukannya. Hasilnya Pemilu 1971 akhirnya cuma 9 parpol diijinkan berlaga, plus sebuah kelompok kekaryaan, yang dikenal sebagai Golongan Karya (Golkar) yang tak sudi dipanggil sebagai sebuah partai.

Akhirnya, Soeharto kebelet juga ingin merampingkan 9 parpol. Terang-terangan ia melampiaskan niat itu pada 28 Oktober 1971. “Pemilu 1976 (dilaksanakan 1977) sebaiknya dimunculkan 3 tanda gambar saja, kelompok demokrasi, persatuan pembangunan dan golongan karya”, usulnya waktu berpidato di depan anggota parlemen yang baru dilantik hasil Pemilu 1971.

Sejak awal 1973, 5 parpol beraliran nasionalis dan kristen digabungkannya menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bergambar kepala banteng, dan 4 parpol aliran islam disatukan dengan nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bergambar Kabah, kiblat umat Islam. Sejak Pemilu 1977 dan 1982, hanya ada 2 parpol dan Golkar.

Masih tak puas dengan trauma ulah parpol masa lalu, Soeharto tak tega memeras 2 parpol yang sudah ada menjadi satu. Ia punya ide cemerlang, yakni menyamakan gen parpol (juga Golkar) pada pidato 17 Agustus 1983. “Semua kekuatan politik harus berazaskan Pancasila”. Akibatnya, PPP tak boleh bergambar motif keagamaan. Kabah diganti menjadi gambar bintang untuk partai itu. Jadilah Pemilu 1987, 1992 dan 1997 tampil hasil yang monoton, menyumbat dan semu yang tak kuat menampung kemajemukan masyarakat nan merebak cepat. “Kita menderita kolesterol politik”, kata John Naro, bos PPP saat itu.

Pada 27 Juli 1996, setelah berhari-hari berorasi di halaman kantornya, PDI yang dikomando Megawati Soekarnoputri, berani menyediakan tempat bagi siapapun yang tak senang dengan kebijakan Soeharto yang mengekang. Keberanian Megawati itu dijawab dengan kekerasan oleh Soeharto, dengan tumpahnya darah yang menghilangkan puluhan nyawa. Namun darah yang mengering tak bisa diam. Ia menjelma akhirnya memicu kejatuhan Soeharto pada 1998.

PENYAKIT PUSING

Presiden BJ Habibie, pengganti Soeharto, akhirnya mengadakan Pemilu 1999 dengan sistem yang sama seperti dilakukan pendahulunya. Bedanya, pada Pemilu 1999 berlaga puluhan parpol dari ratusan jumlah yang lahir setelah berakhir era Soeharto. Sejak itu Indonesia mendapat predikat baru membanggakan: NEGARA DEMOKRASI TERBESAR KETIGA DI DUNIA, setelah India dan Amerika Serikat. Sebuah julukan yang akan terus melekat selama ratusan tahun, kecuali Indonesia berubah jadi negara otoriter, atau sanggup memompa jumlah penduduknya melebihi AS dan India, yang justru kedua negara ini makin membangkak jumlah warganya. “Bingung milihnya”, begitu banyak kesan yang timbul dari masyarakat, yang terbiasa dengan 2 parpol dan Golkar selama lebih 35 tahun. “Pusing!”, kata seorang tukang becak.

Bukan cuma pusing banyak parpol bersemi, tapi menyebar wabah orang mencibir. Lihatlah ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menggelar Pemilu 2004 yang sukses dan dinilai rumit. Puluhan parpol punya ribuan kader yang minta dipilih rakyat untuk jadi anggota parlemen berbagai tingkatan (nasional, propinsi, kabupaten), ditambah memilih sebuah anggota dewan yang mirip senat, yaitu dewan perwakilan daerah (DPD) untuk berbagai tingkatan, sekali masuk bilik suara. Selang beberapa bulan, pemilih harus datang sekali lagi (bisa dua kali) ke tempat yang sama, untuk memilih presiden dan wakilnya dalam satu kemasan produk parpol.

Pemilih Pemilu 2004 menjadi pusing ketika masuk bilik suara. Ada beberapa lembaran suara berukuran jendela rumah. Isinya bagai bagan matriks matematika yang memusingkan, karena terpampang tanda gambar parpol yang kadang mirip, serta foto calon parlemen yang mereka tak begitu kenal (Pemilu 2009 tanpa foto calon legislatif). Hasilnya menakjubkan dan menuai pujian dunia. Presiden (dan wakilnya) terbaru terpilih langsung dengan sangat demokratis, tidak seperti sistem ‘electoral vote’ di Amerika Serikat, yang terkadang kurang langsung.

Untuk pertama kalinya, sejak sejarah 2000 tahun lebih di nusantara, penduduk yang mendiami kepulauan terbesar di muka ini, memilih pemimpinnya secara langsung. Bukan berdasarkan hereditas (keturunan), kudeta atau sandiwara di parlemen yang terjadi selama sejarah negeri ini. Yang memusingkan rakyat, akhirnya menjadi memuakkan, adalah ulah banyak parpol dengan anggotanya yang terpilih duduk di parlemen yang demokratis. Mereka tumbuh menjadi diktator parlementer dengan kekuatan penuh. Dulu diatur-atur badan eksekutif, kini mereka mencoba mengendali jalannya kerja eksekutif, juga yudikatif.

Lihat saja, mereka suka-suka bikin peraturan untuk rakyat yang mereka mau dan butuhkan.

Jalan-jalan ke luar negeri dengan rombongan besar hanya untuk sosialisasi program bagi segelintir warga Indonesia di luar negeri. Mereka memanjakan diri dengan fasilitas kerja yang super mewah. Mereka ingin bikin tambahan gedung parlemen baru berbiaya ratusan miliar, dari pajak rakyat, tanpa diimbang hasil kerja yang mewah untuk pemilihnya yang mereka mudah lupakan. Arena parkir gedung parlemen di Senayan, kini lebih mirip show room mobil mewah. Komisi Pemberantasan Koprupsi (KPK) lebih senang melirik ke gedung parlemen, karena banyak yang bisa ditangkap dari anggota parlemen yang kini gemar korupsi.

PENYAKIT BOROS DAN GILA

Banyak parpol mencerminkan demokrasi. Juga menandakan banyak uang negara yang harus dirogoh. “Demokrasi itu mahal”, kata Wakil Presiden Jusuf Kalla. Harga mahal itu sering tak diimbangi hasil yang memuaskan dari pemilu dengan banyak parpol. Setiap pemilu lima tahun, ratusan triliun uang pajak rakyat dimakan untuk memberi bahan bakar bagi pesta demokrasi itu. Bahkan hampir setiap hari, ada saja pemilihan kepala daerah (pilkada) di seantero negeri untuk memilih gubernur dan bupati. Sebuah pilihan sulit untuk membiarkan negeri ini memiliki sedikit parpol dan ratusan parpol.

Puluhan parpol yang ada menghendaki ribuan anggotanya giat berkampanye, agar terpilih menjadi anggota parlemen, dengan uang sendiri yang bisa mencapai ratusan juta hingga puluhan miliar. Rugi dong? Mereka bisa mendapatkan kembali uang itu, bahkan lebih jumlahnya selama menjadi anggota parlemen. Dari mana? Dari penghasilan yang menggiurkan sebagai anggota parlemen, plus bermain ‘kasak kusuk’ bila tak tertangkap KPK. Bagaimana kalau tidak terpilih? Jadi orang gila.

SUMBER PENYAKIT

Bagi Soekarno, lahirnya puluhan bahkan ratusan parpol dalam pemilu, tidak membuat rakyat menjadi sejahtera. Ia menuduh dan mencela maraknya itu, sambil mengambil sebuah perumpamaan bangsa Belanda, untuk mengejek sistem kenegaraan terlalu banyak parpol. “door naar de zee te strongmen is de rivier trouw aan haar bron”. Dalam menuju ke laut, sungai setia kepada sumbernya.

Maksudnya apa? Ratusan mungkin ribuan sungai taat dengan sumbernya dan menuju ke laut. Sebagian besar sungai-sungai kecil itu bermuara di sungai atau begawan besar, yang mengalir ke laut dengan kekuatan arus maha dahsyat, nyaris tak terbendung. Bagaimana bila sungai-sungai kecil itu tak mau bergabung dengan sungai besar, sungai kecil itu tersendat mandek. Ia menjadi rawa sarang nyamuk dan penyakit, atau menjadi comberan berbau busuk, bahkan mati tanpa jejak. “Kurangi jumlah partai”, teriak Soekarno pada pidato 17 Agustus 1955.

Bukan hanya Soekarno sendiri yang sudah mencium bau busuk dengan terlalu banyaknya parpol.

Colmar, Kota Venesia Kecil-nya Perancis

Sheila - Jerman

Halo KoKiers,

Salam kenal dari Jerman. Baru pertama kali ini aku memberanikan diri mengirim tulisan ke Koki. Semoga saja aku tidak membuat banyak kesalahan. Tulisan perdanaku ini ingin menceritakan hasil foto hunting di Colmar. Selamat membaca.

Aku tidak ingat sudah keberapa kalinya aku mengunjungi kota Colmar. Kota kecil di Perancis yang letaknya sekitar 20 km dari perbatasan Jerman bagian selatan ini selalu membuatku terpesona. Banyaknya bangunan tua yang berwarna-warni sangat indah dipandang mata. Apalagi, aku berkunjung saat musim semi tiba, membuat keindahan kota Colmar semakin mempesona dengan bunga-bunga yang dipajang di jendela tiap bangunan. Kota ini sering disebut dengan julukan "Little Venice" atau "La Petite Venise".

Kanal yang melintasi sungai Lauch di tengah kotanya digunakan sebagai sarana transportasi para turis untuk melihat pemandangan sekitarnya. Mungkin inilah yang memberi inspirasi julukan kota Colmar sebagai "Little Venice", seperti halnya suasana di kota Venesia, Itali. Hampir sama dengan Venesia, para turis bisa menyewa perahu untuk mengelilingi kanal ini. Satu perahu mampu mengangkut 8 turis, dengan lama perjalanan kurang lebih 20 menit untuk 6 euro per orang.


Seperti halnya kota-kota di Eropa, Colmar juga memiliki beberapa bangunan gereja tua yang menjadi ajang wisata para turis. Gereja yang terbesar adalah Gereja St. Martin, atau yang sering disebut Gereja Katedral. Bangunan ini berdiri dari tahun 1234. Saat memandang gereja ini, aku membayangkan keterampilan orang-orang jaman dahulu untuk membangunnya. Hampir lebih dari 700 tahun gereja ini berdiri, tetapi bangunannya masih tetap kokoh berdiri.


Saat menelusuri jalanan di pusat kota Colmar, akan banyak ditemui bangunan-bangunan tua yang sebagian besar kondisinya juga masih terawat dengan baik. Bangunan tua di bawah ini adalah satu contohnya. Bangunan ini dahulu berfungsi sebagai rumah sakit. Yang sering ditemui selama perjalanan adalah bangunan yang dicat penuh warna-warni.

Ciri khas sebagian besar bangunan Eropa adalah jendela dan pintunya yang unik dan penuh warna. Keunikan ini tentu saja menjadi obyek foto yang menarik. Lucunya, ada sebuah rumah yang memasang loyang kue tua untuk dijadikan sebagai hiasan di tembok depan rumahnya.

Selain bangunan tua, obyek wisata yang bisa ditemui di Colmar adalah museum serta galeri seni, rumah makan dan toko perbelanjaan serta toko cindera mata. Dari beberapa toko cindera mata, ada satu yang menarik pusat perhatianku. Toko itu adalah toko yang menjual cangkir minum bertulisan nama seseorang.

Toko ini unik, karena menjual beraneka ragam cangkir minum warna-warni. Jika kita sudah agak lelah menelusuri pusat kota Colmar, kita bisa menggunakan kereta keliling yang sudah disediakan di sebuah halte khusus.

Kereta ini akan membawa kita mengelilingi pusat kota. Ketika kita duduk di dalamnya, akan disediakan sebuah walkman yang berfungsi sebagai tour guide. Tentu saja, ini semua tidak gratis. Kita harus merogoh uang 6 Euro untuk satu kali perjalanan sekitar 15 menit.


Begitu kita keluar dari pusat kota, ada satu objek wisata yang tidak boleh kita lewatkan. Benar, foto di bawah ini adalah replika dari Patung Liberty-nya Amerika Serikat. Patung ini berdiri megah di tengah-tengah perempatan jalan raya. Hari itu aku beruntung.

Cuaca di kota Colmar sangat cerah. Jadi aku bisa mengabadikan replika ini dengan penerangan yang bagus. Setelah perjalanan ini aku berpikir, ternyata dengan mengunjungi kota Colmar aku bisa berimajinasi tentang dua tempat di belahan dunia lainnya. Satu, kota Venesia-nya Itali, dan yang lainnya adalah kota New York di Amerika Serikat.


Mengunjungi beberapa kota di Eropa tentunya akan membawa kesan tersendiri jika ditemani dengan orang-orang yang kita kasihi. Kebahagiaan yang kita bagi akan memberi makna khusus dibandingkan jika kita bepergian sendiri. Tanpa sengaja, aku berpapasan dengan sepasang kekasih yang terlihat mesra bergandengan tangan. Dengan sembunyi-sembunyi, aku arahkan kameraku ke mereka. Klik, terabadikanlah momen yang romantis itu. Bukankah tampak indah jika kita melihat pemandangan di bawah ini?

Demikianlah KoKiers yang budiman. Ceritaku ini aku akhiri dengan sedikit pesan, "Jelajahi dunia di sekeliling kita. Kita akan terkagum melihat begitu banyaknya keindahan yang akan kita temui."

Salam dari Riegel, Jerman

Sheila Susanti Dewi

 

Bilik Gemuruh (Chatroom)

Pelajaran SMP

Kokiers

HEADLINE NEWS
pengunjung sejak 29 April 09

Greeting

© design by kokikatur